Sejak berkenalan dengan dunia per-Korea-an satu dekade silam, lambat laun timbul keinginan untuk melanjutkan pendidikan tinggi di sana. Pikiran itu tercetus kala masih di kelas X atau 1 SMA. Pikiran yang berubah menjadi rencana jangka panjang itu akhirnya tersusun begitu saja, dengan target bahwa aku akan melaksanakannya di tahun 2025 aka 4 tahun pasca bergelar sarjana.
Kenapa nggak langsung lanjut untuk S-1? Alasannya sebenarnya
sederhana, aku perlu persiapan matang. Tujuanku kuliah di Korea bukan sekadar
dapat gelar-pulang, tapi ingin sampai membangun karier juga di sana. Di luar
itu, finansial yang gak mungkin mampu (walau ada beasiswa juga tetap harus
bayar ini-itu buat pendaftaran), aku juga gak bisa langsung melanjutkan S-1
seperti itu. Apalagi diri ini bukan domisili Jawa yang akses mudah. Jadi
keliatannya memang kendalanya sudah paling jelas adalah finansial.
Dengan mengambil S-1 di Indonesia, aku juga udah merasa puas.
Sembari mematangkan bahasa Korea juga dan mencari informasi tambahan tentang
beasiswa dan campus life orang-orang
Indonesia yang lagi dan pernah lanjut studi di sana, aku kembali menyusun
kembali rencana yang kubuat itu. Apakah realistis kalau habis S-1 kerja kurang
lebih 4 tahun sambil kumpul uang buat persiapan beasiswa? Lalu nanti rencana
jangka panjang pasca master mau gimana? Kalau semisal ekspektasinya hanya
sebatas di angan, apa udah siap dengan plan
B, C, atau D?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu normal saja timbul, apalagi
memang gak bisa dipungkiri kalau usia 20an awal itu kehidupan berputar di
pusaran yang berbeda; bukan perkara nanti mau kuliah ambil jurusan apa, cara
mempertahankan IPK bagaimana lagi, tapi apakah bisa keluar dari krisis
kehidupan yang bersembunyi dalam label ‘masalah orang dewasa’?
Setelah lulus S-1, perencanaan itu jauh terasa nyata,
realistis, dan diwujudkan perlahan dan pasti. I have big vision for my future, and I’ll catch it no matter what
happens to me. Walaupun kadang ada satu-dua keadaan yang jadi batu
sandungan, semuanya dinikmati saja.
Dan saat semuanya tampak sudah tersiapkan, tujuan universitas
bahkan sudah dipilih sambil mencari informasi lain yang mungkin bisa jadi opsi,
semuanya bagai buyar ketika aku baru-baru saja lulus. Memang benar sekali ucapan
ini: sekeras-kerasnya manusia menyusun rencana kalau Tuhan belum bilang oke,
rencana itu bisa ‘dibuyarkan’ dengan hal lain yang menurutNya lebih baik.
Ternyata Tuhan memberi kesempatan untuk lanjut magister lebih
cepat dibanding dugaan. Jujur semuanya terasa kayak mimpi, karena aku nggak
pernah memikirkan pilihan langsung melanjutkan S-2 ketika baru saja lulus S-1.
Sungguh luar biasa kuasaNya memang. Ia yang paling tahu dan paham apa yang
dibutuhkan oleh umatNya, sehingga aku yakin rencanaNya takkan pernah gagal dan
berkesudahan.
Tawaran untuk magister sudah sedikit kujelaskan di postingan ini. Aku nggak usah
memusingkan perkara finansial yang jadi sandungan terberatku selama berniat
melanjutkan studi, dan aku bersyukur akan hal itu walaupun tetap yang namanya
pemberian pasti akan terbatas. Hingga tiba pula saatnya aku diminta untuk
memilih beberapa tujuan universitas untuk studi S-2. Beberapa nama universitas
disarankan oleh pemberi beasiswa. Aku pun senang sekali mendengarnya karena di
antara nama-nama itu, aku tahu bagaimana reputasi dan potensi besar yang bisa
kugali selama bersekolah di sana. Bahkan nama-nama universitas yang gak berada
di Indonesia juga ikut disebut.
Singkat cerita, ternyata GKS terasa sulit buat digapai.
Pendaftaran akan tutup dalam beberapa minggu sedangkan aku nggak mau
tergesa-gesa, takut nggak bisa ‘sempurna’ aplikasinya. Dana kutahu pasti
bagaimana kursi GKS itu direbutkan bukan hanya belasan atau puluhan orang, tapi
ribuan. Aku nggak mau menyalahgunakan kesempatan dan pada akhirnya gagal karena
gak siap. Lagipula, memantaskan diri untuk melaju ke aplikasi GKS perlu
persiapan yang gak cepat. Menurut perhitungan sendiri dengan segala kelebihan
dan keterbatasan yang ada, minimal perlu 2 tahun persiapan. Pada akhirnya
kenyataan membuat GKS dicoret. Tertinggal satu opsi paling dekat yaitu LPDP.
Sebenarnya dari hati yang terdalam, niat buat ikut LPDP itu
ada. Bahkan dia sampai jadi bahan pikiran, tapi sayangnya dia juga harus
didepak karena alasan birokrasi. Aku baca pengalaman orang yang daftar LPDP,
butuh persiapan dokumen yang matang plus mencari LoA (Letter of Acceptance) di universitas yang ingin dituju. Karena
perencanaan yang gak matang dan takut mengganggu alur yang diinginkan, maka
kuputuskan juga buat melepas LPDP dari daftar panjang kekalutan mencari
universitas.
Sehingga pada akhirnya jalan terakhir yang bisa ditempuh
adalah mengikuti pendaftaran magister universitas negeri di Indonesia.
Menurutku juga ini jalan yang terbaik, meski aku juga tetap menyayangkan
kesempatanku untuk lanjut magister di Korea atau negara lain pupus sudah. Tapi
aku terus bersyukur, karena walaupun rezeki belum mampu membawaku ke negeri
lain, aku masih beruntung bisa meneruskan pendidikan lebih tinggi di Indonesia.
Dan aku sudah bersyukur sekali.
Namun apakah mimpi berkuliah di luar negeri akan hilang setelah
ini? Tentu tidak. Aku telah menyusun rencana baru untuk studi S-2 lagi dan S-3
yang akan dilakukan semuanya di luar negeri. Yup, aku punya rencana ‘cukup gila’
untuk ambil gelar baru yang gak linier dengan S-1. Tapi karena semua masih
rencana, kemampuanku mungkin hanya baru di tahap berdoa agar usia panjang dan
otak mampu melakukannya.
Awalnya, memilih PTN di Indonesia agak tricky juga. Semua ada plus-minus yang cukup krusial. Aku
ditawarkan untuk lanjut di UI, UGM, atau Unpad. Sebenarnya aku di Unair juga
nggak masalah karena aku domisili Surabaya dan akses mudah. Tapi aku diminta
memilih dari tiga universitas itu saja. Maka, aku pun melakukan riset pribadiku
dengan pertimbangan utama yaitu fasilitas apa saja yang akan kudapatkan, serta
letak geografis kampus tersebut.
UI. Universitas Indonesia yang kampusnya ada di Depok dan
Jakarta. Gedung pascasarjana Ilmu Komunikasi kebetulan berada di Salemba, Jakarta
Pusat. Hati ini pernah terpanggil untuk ambil UI saja, tapi balik lagi
pertimbangan utamaku adalah fasilitas dan geografis. Aku nggak punya keluarga
yang cukup dekat di Jakarta, yang artinya, jika amit-amit semisal aku perlu
bantuan keluarga terdekat yang bisa membantu adalah mereka yang ada di
Surabaya. Jarak Jakarta – Surabaya nggak dekat, saudara-saudara. Perlu
mengeluarkan biaya transportasi 500-700 ribu sekali perjalanan dengan naik
pesawat. Naik kereta api juga gak apa-apa, tapi durasi perjalanan yang terlalu
panjang (bisa sampai 12 jam) bukan sebuah keputusan yang mudah. Restu orang tua
terutama ibu juga memikirkan efisiensi akses tersebut sebagai hal utama.
Mungkin akan timbul pertanyaan, kan masih pandemik, kelasnya pasti masih digelar secara daring. Benar,
benar sekali. Setahuku proses belajar mengajar masih dilakukan daring tapi
tidak menutup kemungkinan bahwa akan ada tiba saatnya aku diminta ke kampus
untuk mengurus sesuatu. Ada beberapa kasus yang seperti ini, dan sejujurnya
pasti ini akan merepotkan maka jika aku pun harus ngekos di pusat ibukota
negara, aku rasa survival rate-ku
juga bisa sangat rendah karena lagi-lagi, bisa terkendala finansial. Living cost di Jakarta bukan main-main,
aku juga sudah sempat konsultasi dengan sahabat yang kuliah di daerah Jakarta
Barat. Dengan kemampuan kantong sekian, ternyata menurutnya bisa nutup, tapi
sangat mepet.
UI pun akhirnya gugur dalam kontes pemilihan ini. Tinggal UGM
dan Unpad.
Unpad sebenarnya adalah tujuan yang menjanjikan, selain
reputasinya bagus, sekolah magister ilmu komunikasinya juga kelihatan
menjanjikan. Tapi aku tetap merasa keganjal sama letak geografis yang berada di
Jawa Barat. Masih ujung pukul ujung yang berarti masih kurang ideal untuk
dipilih. Bisa dibilang UI dan Unpad dilihat dari kacamata fasilitas dan
geografis itu 11-12. Akhirnya Unpad pun dicoret dari kandidat.
Nah, keduanya sudah nggak bisa dipilih. Tersisa UGM di sana,
apakah dia akan jadi juaranya?
Karena dia satu-satunya calon terkuat dan satu-satunya, aku
nggak mau gegabah. Aku benar-benar melakukan riset sedalam-dalamnya tentang
jurusan ini, lokasi, hingga prospek kurikulumnya. Masalah finansial, aku rasa
dia nggak akan menghasilkan masalah karena aku punya sahabat dekat yang juga
sekolah di Yogyakarta. Hampir semua pertanyaan tentang finansial masih
dikategorikan aman sehingga UGM pelan-pelan menjadi pilihan yang ramah bagi
kantong.
Aku juga sampai mencari alumni kampus S-1 yang mengambil
magister ilmu komunikasi UGM. Bertanya tentang campus life, kurikulum, hingga rencana tesis. Aku nggak punya tempat
bertanya yang valid selain ke para dosen yang pernah mengajar di S-1 atau
kakak-kakak alumni. Dengan begitu, aku bisa meyakinkan diri untuk mengambil
langkah. Apalagi saat itu sudah dekat waktu pendaftaran awal.
Masalah geografis, aku rasa di Yogyakarta ada plus dan
minusnya juga. Plusnya, dia terletak di tengah pulau Jawa condong selatan.
Akses kereta api hanya kurang lebih 5 jam dengan biaya yang sangat terjangkau.
Aku udah dua kali ke Yogyakarta dengan tujuan berwisata, dan aku bisa sebut
Yogyakarta adalah the most memorable city
to me. Aku suka aura dan atmosfer Yogyakarta yang ramah, lalu akses transportasi
dalam kota yang mudah. Super menjanjikan dan aku pun menjadikannya bahan
pertimbangan yang punya skor tinggi. Minusnya, aku dengar dari sahabatku kalau
tingkat perbegalan cukup sering terjadi serta perlu pintar-pintar memilah
tempat yang ramah anak kos karena nyatanya gak semua tempat memberi kesempatan
anak kos buat berhemat, terutama perihal kos-kosan (mau nyari yang agak nyaman dan
ada fasilitas itu pasti di atas 700 ribu/bulan).
Dengan segala pergulatan batin dan informasi yang datang dan
berlalu dengan cepat, aku pun mantap dengan UGM. Besar harapanku dia bisa jadi
rumah keduaku untuk menambah pasukan ilmu di dalam kepala. Ketiga universitas
ini aku rasa gak perlu disangsikan lagi reputasinya. Hanya saja, memang harus
ada proses eliminasi panjang karena satu dan lain hal. Aku juga nggak pernah
dan bukan tipikal orang yang menjadikan ranking sebuah universitas sebagai
patokan utama. Kalau misalnya rezeki dapat di UI atau Unpad, aku tetap akan
belajar sungguh-sungguh. Mau di mana pun tempatnya.
Akhirnya UGM pun jadi sang juara. Di luar reputasi positifnya
yang sulit dihitung pakai jari, reputasi negatifnya juga gak bisa aku lupakan
(aku pribadi tetap akan kritis meski sudah jadi bagian dari universitas ini).
Maka setelah mempraktikkan jurus persiapan untuk pendaftaran serta doa yang
hampir tak putus, aku harap keputusan ini yang terbaik. Masih ada dua tahun
masa studi yang akan mulai segera.
Pun sekarang tinggal waktunya menikmati kelon (kelas online) ala perguruan Top 3 Indonesia
(yang katanya jadi kebanggaan tersendiri) dilakukan masih dari tanah kelahiran
tercinta, Kendari, sembari menunggu panggilan kerja paruh waktu di Surabaya.
Tentunya sambil terus berharap dan berdoa kasus covid melandai agar kebijakan PPKM dilepaskan melihat harga dan keterjangkauan fasilitas PCR yang terus mencekik.
Comments
Post a Comment