Skip to main content

'Istirahat' Terpanjang

Istirahat terpanjang selama hidupku mungkin terjadi di tahun 2021. Bulan Desember 2020 aku sudah menyelesaikan kewajiban menuntaskan skripsi dan tinggal menunggu sidang. Bisa dibilang, sejak saat itu ‘istirahat’ itu dimulai; karena aku jadi nggak punya kegiatan belajar-mengajar seperti biasanya.

Penghujung 2020 aku dapat pekerjaan lepas pertama untuk menulis di sebuah situs web perusahaan. Aku terima karena upahnya cocok dan nggak ada aktivitas lain selain menunggu sidang dan revisi. Dengan pekerjaan ini juga, aku pikir bagus jadi tempat buat mengembangkan portfolio tulisan, toh nanti setelah yudisium aku udah bisa ngelamar kerja.

Pekerjaanku sebenarnya nggak gitu kompleks karena aku bisa bekerja dari rumah aka WFH plus target tulisan yang diberikan juga nggak banyak. Artinya, dalam satu minggu aku bisa mengembangkan tulisanku dan menyetornya ke atasan, plus beberapa waktu untuk menunggu balasan dan revisi. Aku bisa jadi punya banyak waktu berlebih dari sana, dan nggak kupungkiri, aku jadi banyak sekali waktu luang untuk bersantai.

Mungkin dalam kamus beberapa orang, bersantai layaknya orang menikmati waktu berkualitas sendiri, atau berekreasi ke sebuah tempat wisata. Jangka waktunya juga nggak bakalan lama, paling 1-2 hari, atau paling lama 1 minggu. Bagiku, bersantai adalah benar-benar nggak punya aktivitas apa-apa hingga berminggu-minggu. Inget banget pas Februari tulisanku udah tinggal tunggu revisi, aku tiba-tiba punya waktu istirahat yang panjang banget. Sebulan. Kurang lebih dari awal Februari sampai akhir itu aku nggak ngapa-ngapain. Nggak kepikiran mau lamar kerja, karena memang awalnya rencana mencari kerja penuh waktu dilakukan pada Maret saja.

Rasanya sedikit menyesal, sih, kalau dipikir-pikir. Aku mungkin terlalu sering melakukan kedok self-reward sampai bablas sebulan. Padahal saat itu bisa melakukan banyak hal berguna; salah satunya lamar kerja dengan bekal SKL dan portfolio yang terus diperbaiki. Tapi itulah diriku, terlalu santai sampai nggak nyangka udah masuk bulan Maret.

Aku melamar di beberapa lowongan yang aku rasa cocok. Tekanan untuk segera dapat kerja juga sudah dilontarkan oleh keluarga besar. Dalam jangka waktu kurang lebih dua minggu, kira-kira ada beberapa lowongan yang kulamar. Di antaranya, Puji Tuhan, secara positif memproses lamaran itu, tapi ada juga yang akhirnya menolak dengan berbagai alasan. Aku nggak langsung menyerah dan terus berdoa juga agar segera diberi jalan terang mengenai permulaan karier ini. Sebagai seorang fresh graduate dengan ribuan saingan lainnya, kesempatan rasanya seperti 1:1000, susah tapi nggak mustahil.

Menjelang wisuda, kabar baik itu datang. Di saat aku sedang beristirahat sejenak selepas mengikuti serangkaian proses lamaran pekerjaan, akhirnya yang kutunggu-tunggu datang juga. Awalnya aku kaget karena nggak biasanya aku dapat telepon masuk dari sosok ini, dan benar saja, ketidakbiasaan itu malah membawa berkat yang melimpah bagiku dan keluargaku. Aku bahagia, tapi nggak mau terlalu dini bersenang-senang, karena aku paham ada banyak yang harus ‘dikorbankan’ untuk mengambil kesempatan tersebut, salah satunya adalah waktu.

Ingat, kan, bagaimana tekanan keluarga besar agar aku tidak membebani lagi? Ya, mereka ingin aku segera dapat kerja dengan upah minimal UMR. Akan tetapi jika aku mengambil kesempatan ini, aku gak akan mewujudkan keinginan mereka. Untuk mendapatkannya aku harus mengikuti proses panjang dengan tenaga dan waktu yang terkuras habis-habisan. Tentu saja tak terlupakan biaya yang bakalan berseri angka nolnya.

Rasa galau dan bimbang itu mengantarkan aku pada malam-malam yang tak pulas. Setelah berdiskusi dengan keluarga besar, akhirnya jalan terbaik yang ditempuh menurut mereka (menurutku juga) adalah dengan menerima tawaran tersebut. Aku pun bersyukur sekali karena keluarga besar masih bersedia aku bebani lagi hingga setidaknya 1-2 tahun ke depan. Lalu selepas itu, aku akan benar-benar mewujudkan keinginan mereka yaitu aku cepat berkarier.

Sebenarnya latar belakang kenapa tawaran itu terasa cukup ‘mewah’ dan membuat keluarga besarku berubah pikiran adalah, dalam salah satu syaratnya aku diwajibkan melanjutkan ke jenjang magister. Yup, aku diminta lanjut magister di universitas negeri terbaik di Indonesia maupun luar negeri dengan beasiswa. Chance in a million, bukan? Menolak pun terasa berat juga.

Akan tetapi kegalauan selanjutnya yang kurasakan adalah apakah selepas aku bergelar master, aku mampu dan siap berkecimpung ke dunia yang bukan prioritasku selama kuliah. Pernah sekali aku memikirkannya, tapi tetap saja ia bukan pilihan yang aku inginkan tersemat sebagai profesiku ke depannya. Kegalauan seperti ini rasanya membingungkan, tetapi di sebuah waktu, aku sudah lupa kapan, aku tiba-tiba teringat akan suatu hal yang akhirnya memantapkan hatiku pada pilihan ini. Aku berpikir bahwa cita-citaku yang sebenarnya bukan terbatas pada profesi apa yang jadi impian, tapi bagaimana aku bisa menuju ke sana dan menjadi sesosok orang yang tak sekadar punya profesi. Alhasil, aku pun menyetujui akan rela mengikuti segala proses baru yang kembali membuatku menjadi ‘istirahat’ lagi.

Di kala teman-teman sejawat sudah mulai mendapat kerjaan 8 jam sehari, aku malah berada di rumah; bangun jam 8 pagi, goleran sampai siang, dan mulai belajar persiapan untuk tes masuk perguruan tinggi di sore hari hingga malam. Fleksibilitas waktu tersebut membuatku kembali terlihat ‘jobless’ sampai-sampai aku dapat bombardir pertanyaan kurang mengenakkan dan muncul stigma-stigma ‘sarjana kok pengangguran’ yang ditujukan padaku. Aku sih senyum dan nggak memikirkan hal itu, toh yang penting keluargaku tau bahwa ada yang sedang aku kerjakan. Nggak ada gunanya juga meyakinkan dan mencari pembenaran khalayak luas tentang apa yang sedang dikejar.

Selama bulan Maret-Mei, waktuku banyak habis di jalan-jalan, rebahan, nonton drama/film, makan-makan, dan belajar persiapan yang berupa TPA dan TOEFL. Kedua tes ini wajib diikuti, dan demi apa pun, aku nggak punya clue. Hanya bantuan dari pacar yang lebih memahami TPA dan kakak yang kebetulan guru bahasa Inggris membantuku di persiapan TOEFL, waktu istirahatku itu terasa agak lebih berisi. Ya meski ada sedikit ngomel-ngomel ngendas karena otak ini nggak nyampe di soal perlogikaan dan angka.

Buku TPA yang dibeli setelah mikir 1 jam di Gramedia, haha.

Tujuh hari sebelum hari TOEFL-ITP, sesi belajar terakhir sama mentor. Deg-deg sedap :))

Persiapanku nggak dramatis dan malah terkesan santai. Aku belajar TPA dan soal psikotes 2 jam sehari (saat itu juga aku harus psikotes buat keperluan proses lamaran) dan belajar TOEFL 2-4 jam seminggu. Terkesan santai, ya? Buatku waktu ini sudah lebih dari cukup karena aku udah punya perencanaan yang tertata serta senantiasa meminta bantuan Tuhan. Aku nggak pernah mau jadi jumawa dengan semua rezeki ini. Takkan bisa aku berada di titik itu kalau bukan Tuhan yang memberikannya padaku. Maka, perlu banget untuk gak melupakan Tuhan dalam segala keadaan, mau susah atau senang. Selain itu, aku juga punya mentor jadi nggak kalut belajar sendirian. Aku juga bakalan nyeritain pengalaman aku TPA, TOEFL, dan aplikasi di magister UGM (serta kenapa aku pada akhirnya milih UGM dari banyaknya universitas lain) di postingan lainnya. Ditunggu, ya!

Akhir Mei aku bisa bilang semua tetek bengek TPA, TOEFL, dan psikotes udah kelar walau aku sempat gagal psikotes sekali dan harus ngulang (betapa bodohnya diri ini!). Rencana selanjutnya yang kuingin lakukan adalah pulang kampung. Aku udah 3 tahun nggak pulang Kendari dan aku pengen menikmati waktu bersama keluarga intiku sebelum aku lanjut sekolah lagi. Tanggal 14 Juni aku akhirnya pulang, menikmati waktu istirahat di ‘rumah sebenarnya’. Bersyukur bersyukur bersyukur banget.

Jangan kira semuanya sudah selesai! Belum. Aku masih harus bertempur dengan proposal tesis. Masuk ke jurusan Ilmu Komunikasi UGM mewajibkanku untuk menulis dan menyetor proposal tesis. Aku punya ide yang udah aku buat kasarannya sejak bulan April, tapi aku baru mulai memikirkannya lagi saat menjelang pulang kampung #janganditiru. Dengan batas waktu pengumpulan awal Juli, kurasa itu waktu yang pas untuk menyelesaikan proposal. Lagipula proposal yang diminta berupa draft tapi aku nggak mau main-main dalam menyampaikan gagasan penelitianku dengan rinci. Kurang lebih satu bulan aku menyelam sampai hampir tenggelam dalam samudera jurnal dan buku-buku metode yang terasa asing bagiku plus masih nyuri waktu makan-makan bersama teman, semua urusan daftar kuliah akhirnya berakhir di tanggal 6 Juli. Lega bukan main rasanya. Setelah 4 bulan, bersiap-siap dan bersikap terlalu santai, akhirnya aku bisa menuntaskan semua dan menunggu pengumuman.

Dan waktu beristirahatku terasa lebih panjang.

Puji Tuhan setelah selesai ribet ngurus pendaftaran, aku juga lagi sibuk di rumahku yang lain, yaitu Bahasa Q&A! Kebetulan aku sedang mengurus sebuah acara dan ngajar bahasa juga. Jadi leha-lehanya jadi agak berkurang sedikit dan aku bersyukur sekaligus bahagia sekali. Rezeki datang dari banyak bentuk yang pada awalnya kuanggap itu sebagai hobi saja. Kelas belajar bahasa Korea juga makin naik level dan makin pusing. Hobi lain merangkai kalimat alias menulis masih lanjut terus. Jadi, ya, hampir gak ada alasan buat mengeluh.

Sekarang aku udah jadi mahasiswa lagi setelah ‘istirahat’ yang panjang ini. Sekitar pertengahan Agustus perkuliahan semester 1 dimulai. Bertemu teman baru, dosen keren-keren, hingga diajar guru besar yang udah melalang buana di dunia komunikasi juga… ah, I’m very excited!  

             

Comments

Popular posts from this blog

Lolos TPA PAPs UGM Skor 550+ dalam 1,5 Bulan

Jika kamu memutuskan untuk melanjutkan pendidikan tingkat magister dan doktoral di Universitas Gadjah Mada, maka kamu akan bertemu dengan sebuah persyaratan yaitu skor TPA. TPA atau Tes Potensi Akademik adalah sebuah tes yang dilakukan untuk menguji kemampuan seseorang yang biasanya dilihat dari empat sub tes: Verbal, Angka, Logika, Spasial/Gambar. Sepengetahuanku, TPA biasanya hanya akan terdiri dari sub-sub tes di atas. Terutama bagi TPA jenis tes PAPs (Potensi Akademik Pascasarjana). Berhubung TPA yang aku ikuti hanyalah PAPs maka aku akan lebih menjelaskan apa pun yang berhubungan dengannya. Kebetulan aku perlu skor dan sertifikat PAPs untuk memenuhi pendaftaran di gelombang 2 semester gasal 2021/2022. Jadi, aku akan membagikan pengalamanku mengikuti tes PAPs dalam masa-masa pendaftaran semester gasal saja, yap. Apa itu PAPs? PAPs adalah tes potensi akademik yang diperuntukkan bagi calon pendaftar program pascasarjana (magister dan doktoral) UGM dan pertama kali diluncurkan o...

Menjadi Orang Tua Suportif

 Nemu sebuah menfess di base Twitter. Basically ini chat dua orang yaitu anak & ibu tentang hasil pengumuman SNBP (atau SNMPTN, penyebutan sebelumnya).  Lihat menfess & chat ini aku jadi realize bahwa sebenarnya privilege paling sederhana yang mungkin bisa didapatkan oleh seorang anak yaitu "support orang tua atas keputusan anaknya". Aku yakin anak ini pasti sangat cemerlang di sekolah dan tau apa yang dia inginkan untuk masa depannya. Tapi melihat respon orang tuanya, aku sangat prihatin dan ikut tersayat hati.  Link Menfess Tapi memang itulah yang terjadi. Nggak jarang pula bahwa ada tipe orang tua yang merasa sebagai "sopir" dalam kehidupan anak-anaknya. Bahwa anak yang dihasilkan adalah suatu keharusan bagi mereka untuk menurut dan berbakti ke orang tua. Anak sering nggak diberi ruang untuk bertumbuh sesuai minat yang membuat dia nyaman. Kadang, anak malah nggak boleh membantah karena alasan materi alias orang tua yang bakalan bayarin sekolah, jadi anak ...

Semarak Lulus Jilid 2

Sudah lama tulisan ini mengendap di draft. Nggak dipungkiri sih, cukup banyak ketegangan dan perubahan-perubahan dalam hidup yang sebenarnya ingin diceritakan, tapi perlu niat yang besar. Seperti tulisanku yang menuliskan gimana 'semarak'nya kelulusan S1 awal 2021 lalu, kali ini aku ingin menorehkan kembali apa yang kualami untuk menambah gelar di belakang suku kata terakhir namaku. Proses untuk meraih gelar magister nggak mudah. Aku sudah pernah share di post sebelumnya kalau aku benar-benar under pressure untuk menuntaskan tesis sampai di titik I believe I don't want to write another academic writing forever. Ada perasaan trauma(?) atau semacam ingin kabur ketika harus kembali membuka laptop dan mengetikkan rumusan penelitian hingga tuntas. Tapi bagaimana bisa kabur, sekarang karierku harus berurusan dengan mereka... Yang tentu saja dengan penuh usaha akan aku lakukan, sembari berdamai dengan jurnal-jurnal dan buku-buku akademis itu. Juli 2023 aku lulus sidang tesis. Aku ...