Skip to main content

A reminder on Facebook, 2013: peristiwa hidup lain



a reminder on Facebook, 2013: peristiwa hidup lain

Bab I. Cerita Kehilangan 1
Suatu waktu di tahun 2013, ketika aku sedang sibuk-sibuknya menjahit di kelas Prakarya, aku tiba-tiba dipanggil oleh salah seorang guru. Ia memintaku ke gerbang depan karena tanteku beserta suaminya datang menjemput. Hal yang sangat aneh dan jarang terjadi, sebab hari-hari aku pulang tidak pernah dijemput melainkan naik angkot.

Aku menyudahi jahitan dan bergegas keluar. Aku menemui mereka yang berdiri tidak jauh dari gerbang menuju arah koperasi. Di situ wajah mereka sudah agak sedikit kelabu, perasaanku menjadi tidak enak.

Ya benar saja, kalimat pertama yang keluar dari bibirnya adalah, 'Angku (om)-mu meninggal. Kemas tasmu dan kita pulang.'

Seolah-olah langit runtuh di hadapanku, aku mencerna segala kata yang diucapkan.

Angku? Angku yang mana? Aku memang punya dua Angku dan aku baru bertemu keduanya beberapa hari lalu. Mana mungkin tiba-tiba meninggal seperti itu?

Aku lantas bertanya, 'Angku siapa?'

'Angku Yanto,' jawab mereka singkat.

Kepalaku tiba-tiba pusing memproses segalanya. Aku baru bertemu Angku itu beberapa hari sebelum. Ia ke rumah mengantarkan adikku pulang sekolah. Tidak menyangka sekali kepergiannya secara mendadak itu.

Aku langsung berkemas dan pulang bersama mereka. Sepanjang perjalanan aku diam dan bahkan tidak bisa menangis. Mereka bilang akan membawa Kung-Kung (opa) sementara waktu karena ia juga sedang sakit dan perlu penjagaan khusus.

Sesampainya di rumah aku dan adik bersiap-siap, ganti baju, dan diantar ke rumah duka. Di sana sudah banyak sekali pelayat yang kebanyakan adalah keluarga besar. Mamaku juga ada di sana, mendampingi sambil menunggu jenazah Angku datang dari rumah sakit. Aku mendekatinya dan berusaha menuntaskan seluruh pertanyaan yang belum terjawab.

'Angku sakit apa? Kenapa tiba-tiba meninggalnya?'

Mata mamaku sembab, ia hampir tidak bisa menjawabnya. 'Sepertinya jantung. Tadi pagi jatuh di kamar mandi lalu Angkim (tante) bawa ke rumah sakit. Di sana sudah tidak ada.'

Rasanya masih sulit menerima semua jawaban itu. Aku seperti ingin mendengarkan jawaban lain yang memuaskan. Atau setidaknya bangunkan saja aku dari semua mimpi ini.

Sayangnya semua itu bukanlah mimpi.

Angkuku, ia benar-benar sudah tidak ada.

Ditemani dengan keluarga dan pihak rumah sakit, jenazahnya tiba di rumah duka. Di saat itulah, air mataku terjatuh. Ia sudah rapi di dalam peti mengenakan jas hitam dan kemeja putih. Rambutnya yang gondrong terurai ke depan. Wajahnya yang sangat tidak asing itu, wajah yang selalu tersenyum ketika melihatku sudah kaku dan kedua mata telah tertutup selamanya. Tidak ada lagi aroma khas yang menyeruak dari tubuhnya. Hanya tersisa aroma parfum peti yang tajam.

Ia meninggalkan istri dan 3 anak yang masih kecil. Sebagai seorang Angku, aku sering bertemu dengannya ketika ke rumah Amma (oma). Dari dulu kesenangannya adalah memperbaiki HP yang rusak baik sofware/hardware. Tidak terhitung berapa kali HPku diservis olehnya, sampai ia juga suka mengisikan paket data/pulsa. Ia juga seorang pekerja keras yang suka berguyon. Tidak sulit membuatku tertawa terpingkal-pingkal ketika berada dekat dengannya. Dan kehilangannya benar-benar suatu hal yang sulit dilupakan hingga saat ini.

Bab II. Cerita Kehilangan II
Tidak lama selang meninggalnya Angku, Kung-Kung yang semula sakit (sudah hampir 3 tahun juga sakitnya) semakin parah. Meski telah dibawa ke Singapura untuk mendapatkan perawatan yang lebih baik, penyakitnya tetap kambuh. Aku hanya diberitahu bahwa ada penyumbatan di otaknya sehingga ia jadi suka kejang-kejang. Aku sendiri tidak begitu paham, namun pengalaman traumatis itu membuatku sangat ketakutkan bila melihat seseorang kejang-kejang.

Kira-kira sebulan setelah pemamakan Angku, Kung-Kung tiba-tiba berhalusinasi parah. Kami sudah memanggil dokter dan tetangga yang bisa membantu, namun kami disarankan untuk langsung membawa ke rumah sakit saja. Malam itu sekitar pukul 10, ia dibawa dengan ambulans meninggalkan aku dan adik berdua sendiri di rumah. Orang tuaku pergi bersama untuk mengurus di sana. Baru sekitar subuh, mamaku pulang dan mengatakan Kung-Kung akan diopname untuk beberapa hari.

Aku tidak pernah melihat Kung-Kung sampai separah itu. Benar-benar yang berhalusinasi sampai mengamuk. Aku sangat tidak tega melihatnya dalam kondisi demikian, karena di mataku selama ini ia adalah orang yang sangat memerhatikan kesehatan; makan bergizi dan selalu beraktivitas. Tidak ada riwayat penyakit apapun dan bak bom waktu, penyakitnya langsung meledak dalam satu saat.

Setelah beberapa hari aku pulang pergi mengantarkan makanan dan menengoknya di rumah sakit, kabar buruk kembali menghampiri. Semulanya rumah sakit ini sangat dekat dengan rumah dan sangat efisien untuk menjenguknya tiap hari. Namun karena dokter yang menangani tidak bisa melayani di RS tersebut, maka Kung-Kung dipindahkan ke rumah sakit jiwa. Terlebih penanganan khusus berhubungan dengan saraf/kejiwaannya lebih baik dilakukan di sana.

Beberapa hari berlalu, aku sudah tidak bisa menjenguknya lagi karena lokasinya yang jauh dan satu-satunya kendaraan saat itu hanyalah angkot. Sehingga pada akhirnya, yang aku terima lagi-lagi adalah kabar buruk. Di suatu sore ketika aku baru saja pulang dari kerja tugas di rumah teman, tetanggaku langsung mengabarkan kalau Kung-Kung sudah meninggal. 

Lagi dan lagi. Aku harus memproses informasi itu dengan terburu-buru.
Aku paham bahwa Kung-Kung mengidap penyakit itu sudah lama, tapi harapanku agar ia sembuh nyaris 100%. Aku tidak merasa bahwa ia akan meninggal dalam perawatannya. Apalagi, ia menghembuskan napas terakhirnya dalam tidur. 

Jenazahnya dibawa ke rumahku dan seluruh keluarga sudah berkumpul. Aku dibantu dengan beberapa tetangga menyiapkan rumah dan menerima tamu-tamu. Malam harinya, jenazah Kung-Kung tiba dan aku harus menyiapkan hati merelakan Kung-Kung pergi selama-lamanya. Air mataku jatuh dan aku terus berusaha tegar dalam kondisi ini. Aku besar dan hidup satu atap dengannya sejak lahir. Bahkan untuk perihal sekolah, tiap pagi dialah yang mengantarkan ke sekolah begitu pula menjemputku. Ia selalu menyiapkan uang saku, membayarkan uang sekolah dan les... Aku bahkan pernah kecelakaan dengannya saat ke sekolah dulu. Aku juga pernah dibelikan baju yang banyak. Dibelikan ini dan itu, semuanya, tanpa terkecuali.

Sejak dulu ia memang suka berdagang. Sejak awal ia menikah dengan Po Po (oma), ia sudah punya usaha yang lambat laun meningkat hingga menurut cerita, ia sampai bisa liburan ke luar negeri tiap tahun dan punya mobil bagus. Akan tetapi semuanya direnggut karena adanya masalah. Keuangannya jatuh, namun perlahan bangkit lagi. Ia bangkit dengan membuka toko kelontong yang lebih dari cukup untuk membiayai kami semua sehari-hari. Sehingga bisa dikatakan bahwa ketika ia jatuh sakit, kondisi keuangan juga ikut goyang.

Satu-satunya harapan adalah dari papa. Tapi kami tidak berharap banyak karena riwayatnya berbuat masalah. Dan inilah yang mendasari hingga akhirnya aku kehilangan sosok ayah dalam hidupku.

Bab III. Cerita Kehilangan III
Kung-Kung adalah orang yang pintar mencari uang. Seperti apa yang aku sebutkan tadi, dia menjadi penopang finansial kami selama bertahun-tahun. Papaku juga kerja. Tapi, deretan masalah yang ia perbuat tidak membuatkan kapok. Selama Kung-Kung hidup tidak terhitung berapa kali Kung-Kung menutup lobang yang ia buat. Meminta kiri-kanan ke kerabat lainnya sampai menjual harta benda, semua ia lakukan. Mungkin memang itulah 'rasa sayang' yang seringkali menjadi kedok untuk memanjakannya.

Aku berulang kali memikirkan kembali apakah ini hal yang tepat untuk dilakukan. Aku juga takut dan malu mengungkapkan ini ke orang lain, karena tentu saja ini bukan hal yang patut dibanggakan. Namun aku merasa seolah-olah ada batu besar yang mengganjal di dalam tenggorokan yang ingin aku muntahkan. Setidaknya dalam tulisan ini, aku bisa merasa sedikit lebih puas ataupun lega, dan berdamai dengan masa remajaku yang penuh dengan lika-liku.

Karena kami baru saja ditinggal oleh Kung-Kung, papa ditawarkan untuk membuka sebuah usaha dan diberi modal. Tentu saja ini adalah tawaran yang bagus. Namun mungkin memang yang namanya tabiat susah diubah, ia berulah lagi. Ia kabur dan sejak saat itu kami sudah sulit menerimanya kembali.

Sebab perlakuannya, aku harus dicaci maki oleh orang yang merugi dan mendengarkan semua omongan yang tidak pantas didengarkan oleh anak berusia 13 tahun. Aku ingat tiap kata yang dikeluarkan dari mulut-mulut orang itu. Aku juga sampai malu bertemu dengan teman-teman sekolah karena hidup di kota kecil ini berarti pertukaran informasi akan terjadi dengan sangat cepat. Aku jadi lebih banyak diam dan menerima ucapan-ucapan itu, seolah-olah pantas menerimanya. Padahal aku tidak salah apa-apa. Aku saja bahkan tidak mendapatkan sepeserpun dari uang yang ia bawa itu.

Sejak saat itu, aku pelan-pelan menggantikan rasa sayang menjadi rasa benci teramat dalam. Aku merasa itu wajar, karena apa yang kulalui tidak akan sebanding dengan apapun. Aku merelakan masa remaja dengan tatapan menjijikan orang-orang dan ucapan merendahkan. Semuanya baru bisa pelan-pelan lepas ketika aku merantau ke Surabaya. Setidaknya, aku menjauh dari orang itu. Ia juga sudah makin jarang menghubungiku, apalagi memberi support finansial. Alhasil, sosok ayah itu juga menghilang. Dan aku pun sudah mati rasa untuk memberikannya perhatian apapun.

Sampai detik ini, aku sudah tidak kontak lagi dengannya. Aku memutuskan untuk blok dia selamanya dari semua media sosial dan chat karena dia selalu menganggapku durhaka karena tidak menganggapnya 'ada'. Ia suka menggunakan kartu kesedihannya ke kerabat-kerabat lain, yang membuat aku dipandang sebagai anak tidak tahu diri yang melawan orang tua. Sejujurnya, siapa memangnya yang ingin melakukan hal itu? Tidak ada asap kalau tidak ada api. Semua ada penyebabnya. Dan semua terpendam sejak 2013, ketika makian itu membekas di hatiku untuk selamanya dan tidak sekalipun kata maaf keluar dari mulutnya.

Namun perlahan semakin aku dewasa, aku berusaha berdamai dengan keadaannya dan berusaha melupakan semua itu. Sedikit demi sedikit, hingga hilang sepenuhnya. Namun aku masih belum ingin bertemu atau berinteraksi dengannya. Mungkin, ketika semuanya sudah sembuh. 

Bab IV. A Note to My 13-yo Self
Is it hard to face a new day after all the loses you've been experienced?

Berat, ya? Seperti dunia tidak adil padamu...

Kamu masih 13 tahun,
waktu di mana seharusnya merasakan kebahagiaan remaja yang maksimal,
apalagi saat itu sudah tinggal 1 tahun masa SMP yang sangat indah itu.

Perlahan kamu menarik diri karena rasa malu,
kamu takut diolok-olok,
kamu takut... takut sekali sampai ingin semuanya selesai saja, ya?

Aku masih ingat sampai saat ini, kok.
Aku ingat setiap kata itu, yang melukaimu,
teramat dalam hingga membekas.

Kamu tidak berani, tidak apa-apa.
Aku pun juga sampai hari ini tidak berani.

Tapi kamu kuat.
Kamu hebat.
Kamu baru 13 tahun, dengan umur semuda itu,
berusaha bangkit dan kembali lebih kuat!
Karena kamu tahu, 5, 10, 20 tahun yang akan datang,
semuanya terbentuk karena kekuatanmu di usia 13 itu. 

Kalau kamu tidak kuat,
bagaimana bisa aku menuliskan ini semua sekarang? 
Kamu tahu? Sekarang kamu sudah menjadi apa?

Kamu sudah lulus kuliah.
Belum sampai S3 seperti keinginanmu, tapi diusiamu yang sekarang 23 ini,
kamu sudah lulus S2! 

Karena kehebatanmu, aku bisa begini.
Melanjutkan hobi menulismu,
di meja kerja dengan karier yang bagus.

Aku baru memulai.
Agak sedikit terlambat, ya?
Tapi itu semua kulakukan demi kamu.
Demi masa kecil-remaja kita yang banyak disakiti.

Katamu, kamu ingin keliling ke luar negeri, kan?
Berbahagia, merasakan udara negeri orang yang kamu lihat di TV saja.
Aku perlahan merealisasikan itu semua.
Demi kamu.

Memang sampai detik ini,
belum semua keinginanmu tercapai.
Aku juga masih kerap mendapat tatapan menjijikan yang kamu terima,
tapi aku tidak gentar!
Kalau kamu kuat,
aku juga bisa!

Maaf, ya, kamu harus merasakan semua itu.
Kamu jadi sangat tangguh dan membangun benteng yang tinggi.
Aku mengerti semuanya.
Kamu membangun itu untuk aku.
Agar aku tidak berantakan diterpa apapun dari segala penjuru.

Aku berterima kasih atas keuletanmu, kerja kerasmu.
Setelah berjuang di tengah semua keterbatasan,
dan tanganmu yang selalu menadah ke atas,
sekarang kamu bisa tenang,
karena kamu tidak perlu melakukan itu lagi.
Berkatmu, aku sudah jauh lebih baik.
Aku perlahan mendapatkan apa yang kamu inginkan.

Tunggulah beberapa waktu lagi, 
semoga Tuhan mengizinkannya,
aku akan bangun semua kastil-kastil mimpimu,
menjadi kenyataan.


Comments

Popular posts from this blog

Lolos TPA PAPs UGM Skor 550+ dalam 1,5 Bulan

Jika kamu memutuskan untuk melanjutkan pendidikan tingkat magister dan doktoral di Universitas Gadjah Mada, maka kamu akan bertemu dengan sebuah persyaratan yaitu skor TPA. TPA atau Tes Potensi Akademik adalah sebuah tes yang dilakukan untuk menguji kemampuan seseorang yang biasanya dilihat dari empat sub tes: Verbal, Angka, Logika, Spasial/Gambar. Sepengetahuanku, TPA biasanya hanya akan terdiri dari sub-sub tes di atas. Terutama bagi TPA jenis tes PAPs (Potensi Akademik Pascasarjana). Berhubung TPA yang aku ikuti hanyalah PAPs maka aku akan lebih menjelaskan apa pun yang berhubungan dengannya. Kebetulan aku perlu skor dan sertifikat PAPs untuk memenuhi pendaftaran di gelombang 2 semester gasal 2021/2022. Jadi, aku akan membagikan pengalamanku mengikuti tes PAPs dalam masa-masa pendaftaran semester gasal saja, yap. Apa itu PAPs? PAPs adalah tes potensi akademik yang diperuntukkan bagi calon pendaftar program pascasarjana (magister dan doktoral) UGM dan pertama kali diluncurkan o...

Menjadi Orang Tua Suportif

 Nemu sebuah menfess di base Twitter. Basically ini chat dua orang yaitu anak & ibu tentang hasil pengumuman SNBP (atau SNMPTN, penyebutan sebelumnya).  Lihat menfess & chat ini aku jadi realize bahwa sebenarnya privilege paling sederhana yang mungkin bisa didapatkan oleh seorang anak yaitu "support orang tua atas keputusan anaknya". Aku yakin anak ini pasti sangat cemerlang di sekolah dan tau apa yang dia inginkan untuk masa depannya. Tapi melihat respon orang tuanya, aku sangat prihatin dan ikut tersayat hati.  Link Menfess Tapi memang itulah yang terjadi. Nggak jarang pula bahwa ada tipe orang tua yang merasa sebagai "sopir" dalam kehidupan anak-anaknya. Bahwa anak yang dihasilkan adalah suatu keharusan bagi mereka untuk menurut dan berbakti ke orang tua. Anak sering nggak diberi ruang untuk bertumbuh sesuai minat yang membuat dia nyaman. Kadang, anak malah nggak boleh membantah karena alasan materi alias orang tua yang bakalan bayarin sekolah, jadi anak ...

Semarak Lulus Jilid 2

Sudah lama tulisan ini mengendap di draft. Nggak dipungkiri sih, cukup banyak ketegangan dan perubahan-perubahan dalam hidup yang sebenarnya ingin diceritakan, tapi perlu niat yang besar. Seperti tulisanku yang menuliskan gimana 'semarak'nya kelulusan S1 awal 2021 lalu, kali ini aku ingin menorehkan kembali apa yang kualami untuk menambah gelar di belakang suku kata terakhir namaku. Proses untuk meraih gelar magister nggak mudah. Aku sudah pernah share di post sebelumnya kalau aku benar-benar under pressure untuk menuntaskan tesis sampai di titik I believe I don't want to write another academic writing forever. Ada perasaan trauma(?) atau semacam ingin kabur ketika harus kembali membuka laptop dan mengetikkan rumusan penelitian hingga tuntas. Tapi bagaimana bisa kabur, sekarang karierku harus berurusan dengan mereka... Yang tentu saja dengan penuh usaha akan aku lakukan, sembari berdamai dengan jurnal-jurnal dan buku-buku akademis itu. Juli 2023 aku lulus sidang tesis. Aku ...