Terkadang
ketika aku membaca tulisan kontemplasi orang-orang tersebut, aku ikut hanyut
pada isinya meski berbeda dari satu dan lainnya, dengan menyesuaikan substansi
kontemplasi yang dirancang. Pada
akhirnya aku menemukan kesimpulan kalau setiap orang pasti punya ceritanya yang
ingin disebarkan, ingin orang lain dengarkan, atau hanya sekadar memulihkan
perasaan yang terasa bolong.
Di waktu aku
memutuskan akan menulis draft tulisan
ini, aku tidak langsung tertuju pada pilihan kata ‘kontemplasi’ melainkan ‘refleksi’.
Kata ini sangat dekat denganku, apalagi membicarakan perkara ‘renungan’.
Hubunganku dengan refleksi ini seringnya makin erat menjelang hari-hari akhir
rekoleksi atau ret-ret.
Biasanya
peserta rekoleksi ini diminta menuliskan refleksi tentang apa yang didapatkan
selama tiga hari dua malam jauh dari rumah. Inginnya, sih, nulis bisa main sama
temen sekolah, nginap bareng, main game bareng…
Tapi karena takut nilai dan tanggung jawab mata pelajaran Agama bisa tidak
menyentuh KKM, refleksi yang benar-benar datang dari materi pembicara harus
dibuat.
Sejak
mengenal refleksi semacam itu, aku sepertinya agak kurang memahami ‘esensi’-nya.
Bukan karena aku tak memerhatikan jadwal dan materi yang disuguhkan–salah satunya
bisa dibilang begitu–tapi sebagai murid yang pikirannya bahwa refleksi
dilakukan hanya untuk memenuhi nilai saja, tidak ada kesungguh-sungguhan yang
mau dicapai.
Semakin
mendekati penghujung hidup (baca: tua), semakin naik pula pemahaman bahwa
refleksi adalah sebuah wadah yang sangat baik untuk bercerita; menjelaskan apa
yang terjadi dalam hidup kita, memilah apa yang menjadi kebingungan, penyebab patah
hati, sukacita, dan pelajaran baru. Ia
tidak menjadi satu plot yang semata-mata dipandang sebagai pemenuhan nilai KKM
Agama di kelas, tapi ia jauh menerawang apa yang kadang awam saja kalut
memikirkannya.
Oleh karena
itu, pemilihan refleksi pada tulisan ini dianggap tepat. Tapi aku merasa
sedikit keraguan karena di era anti-mainstream
ini, lebih baik menggunakan diksi yang terdengar hype dan jarang didengarkan agar keren. Apalagi saat mengilhami
arti di baliknya, harus membuka KBBI atau Googling
terlebih dahulu. Tenang saja, aku pun begitu. Kata kontemplasi ini juga
muncul tanpa aku tahu artinya, lalu kubuka KBBI dan menemukan sinonimnya yaitu
refleksi. Jadi, saat aku ingin tulisan ini ada embel-embel ‘refleksi’-nya,
kenapa tidak pakai kontemplasi saja yang terdengar lebih tjakep dan puitis?
***
Kontemplasiku
hari ini adalah: Apa yang kudapatkan
dari menulis di blog ini? Aku memulai blog ini 402 hari yang lalu. Memilih
untuk nge-blog adalah pilihan yang sering diutarakan sejak 2017, tapi tidak
kesampaian. Aku suka menulis, tapi kadang aku tak yakin tulisanku nyaman dan
bisa dinikmati orang lain karena mostly isinya
hanyalah curhatan dan keresahan yang tidak pernah bertitik. Salah satu aplikasi
yang paling aku gunakan untuk menulis adalah Notes. Tak boleh ada seorang pun
memiliki hak membukanya kecuali aku. Isinya sangat sentimental, imajinatif,
kadang tidak realistis, dan kontroversial. Hingga pada akhirnya, tulisan itu
itu saling menimbun tulisan lainnya, tak ada yang membacanya kecuali diriku
yang kadang kepo sama isi tulisanku sendiri.
Sebelumnya
aku punya blog pribadi yang berisi cerita bersambung, tapi tidak pernah tamat
karena tidak ada keseriusan untuk dilanjutkan. Setelah itu, blog itu
kulenyapkan dan kebiasaan menulis itu pun terlempar begitu saja di
catatan-catatan dan pikiran yang semrawut.
Tahun 2020
aku bertemu Twitter, platform yang
sempat kugandrungi waktu masih menggilai KPop dan tetek bengeknya. Akun itu
juga terblokir karena didaftarkan tidak saat cukup usia minimal, dan akhirnya
akun baru pun terbentuk. Di sana aku memulai untuk mencoba jujur dalam tiap
cuitanku meski followers tak
seberapa.
Sampai aku
pun melihat fitur InstaStory yang lumayan membantu merealisasikan cita-cita
untuk menyampaikan cerita. Hanya saja, beberapa kali tak semua bisa diceritakan
karena terbatas jumlah karakter. Maka dari itu, wacana membangun sebuah blog
pun jadi pelarian terakhir menghilangkan hasrat ingin bercerita. Dan
FloweryJournal menjadi nyata.
Di hari
buruh internasional tahun 2020, postingan tulisan pertamaku yang membahas
belajar bahasa Korea pun terbit juga. Rencanaku tidak begini
sebenarnya, karena aku ingin menjadikannya sebuah diary daring yang berisikan isi kepalaku yang acak kadut. Akan
tetapi demi ada sedikit esensi dalam blog ini, maka postingan tentang belajar
bahasa Korea itu pun terjadi.
Rencananya
aku akan menulis minimal satu tulisan dalam satu bulan. Aku mematoknya demikian
agar fokus membangun blog ini. Akhirnya sudah tertebak, wacana itu tetaplah
wacana saja. Karena ternyata, mengatur blog pribadi itu menjadi ‘beban’ baru.
Bagaimana kalau aku tidak ada ide menulis yang ‘aman’? Apa boleh aku menuliskan
isi hatiku sepuasnya tanpa harus dipertanyakan keabsahannya? Atau apa yang bisa
pembacaku dapatkan kalau membaca tulisanku?
Maka di enam
bulan awal tulisan blog ku, jumlah postingannya hanyalah itungan jari. Aku
seperti linglung, mau diapakan blog ini? Aku mau tulis ini, tapi ragu. Nulis
itu, ragu juga. Jadi memang lebih baik kalau dia dalam tumpukan Notes saja.
Tahun 2021, I barely wrote at all. Di Notes ada
beberapa, tapi itu hanya sambatan tak
berfaedah jadi untuk apa pula mengganggu kesucian blog ini. Tulisan yang layak
masuk ke dalam blog tak ada satupun yang sesuai kualifikasi. Sunting kiri,
sunting kanan, tak bisa diselamatkan. Akhirnya mulai Februari hingga akhir Mei
2021, aku tidak mengisi apa pun pada blog ini.
Mungkin ini
sebab aku terlalu berkutat dengan hal duniawi begitu sengitnya, sampai lupa apa
yang sebenarnya aku kejar dan inginkan. Aku pernah dan excited sekali saat punya blog, saat bisa menunjukkan rasa yang
jujur. Tapi setelah memilikinya, kenapa ia malah jadi beban tersendiri, dan
pada akhirnya terlupakan?
Maka dari
itu aku memulai corner Kontemplasi
ini dengan keinginan besar bahwa, aku bisa terus merefleksikan, merenungkan apa
yang jadi tujuanku saat menulis. Jangan terlalu sering plin-plan. Jikalau
memang Notes adalah satu-satunya safe
place-mu untuk jujur dan menutup kesempatan pada orang lain untuk
mendengarkannya, maka tidak perlu ada blog ini. Hapus saja dan lakukan yang kau
yakini benar.
Padahal jika
ditelaah lagi, hal-hal duniawi yang kerap mengganggu kenikmatan tidur itu
kadang menghasilkan deretan tulisan di Notes. Tulisan-tulisan yang ditulis pada
akhir Mei itu pun tak harmless, offensive,
atau mencelakai orang lain. Kalau sejatinya ia bisa jadi bahan yang mungkin
bisa membantu pembaca, kupikir lebih bijak untuk melakukannya daripada
menebak-nebak hasil yang tidak perlu ditebak juga.
Aku pun jadi
lebih berani untuk memproses rasa dengan lebih jujur, teratur, dan tentu saja,
takkan menganggu kemaslahatan orang lain. Aku berusaha, dan kurasa ini jadi
bagianku yang ingin pula kulepaskan agar ia berhenti memberontak. Memikirkan banyak
hal tanpa ada aksi yang berarti, takkan bisa membawa hal itu kemana-mana dan
malah menggandakan hal lain yang tak perlu.
Empat ratus
dua hari bersama blog ini pun ternyata ada pasang surutnya (meski kebanyakannya
surutnya). But it’s totally fine. Adanya
blog ini perlahan menyeretku menemukan inti dan nilai yang ingin kudapatkan dari
tulisan ke tulisan lain. Dan kontemplasi akan kehadiran blog ini pun juga
mengizinkanku semakin berani mengutarakan apa yang harus ditulis, dibaca, dan
didengarkan meski tidak ada label sempurna di sana. Takkan ada rencana atau
patokan apa-apa selanjutnya, karena aku akan biarkan ia kembali pada jati
dirinya: menjadi tempat menuliskan perasaan yang jujur.
Comments
Post a Comment