Skip to main content

#Kontemplasi: 402 Hari Bersama Blog

Kontemplasi. Kata yang sering aku temui di sosial media beberapa waktu yang lalu. Biasanya berisi semacam ‘renungan’ mengenai hari yang telah dilewati, atau urusan yang telah sukses, atau bahkan tentang permasalahan-permasalahan individu yang makin suram tiap harinya.

Terkadang ketika aku membaca tulisan kontemplasi orang-orang tersebut, aku ikut hanyut pada isinya meski berbeda dari satu dan lainnya, dengan menyesuaikan substansi kontemplasi  yang dirancang. Pada akhirnya aku menemukan kesimpulan kalau setiap orang pasti punya ceritanya yang ingin disebarkan, ingin orang lain dengarkan, atau hanya sekadar memulihkan perasaan yang terasa bolong.

Di waktu aku memutuskan akan menulis draft tulisan ini, aku tidak langsung tertuju pada pilihan kata ‘kontemplasi’ melainkan ‘refleksi’. Kata ini sangat dekat denganku, apalagi membicarakan perkara ‘renungan’. Hubunganku dengan refleksi ini seringnya makin erat menjelang hari-hari akhir rekoleksi atau ret-ret.

Biasanya peserta rekoleksi ini diminta menuliskan refleksi tentang apa yang didapatkan selama tiga hari dua malam jauh dari rumah. Inginnya, sih, nulis bisa main sama temen sekolah, nginap bareng, main game bareng… Tapi karena takut nilai dan tanggung jawab mata pelajaran Agama bisa tidak menyentuh KKM, refleksi yang benar-benar datang dari materi pembicara harus dibuat.

Sejak mengenal refleksi semacam itu, aku sepertinya agak kurang memahami ‘esensi’-nya. Bukan karena aku tak memerhatikan jadwal dan materi yang disuguhkan–salah satunya bisa dibilang begitu–tapi sebagai murid yang pikirannya bahwa refleksi dilakukan hanya untuk memenuhi nilai saja, tidak ada kesungguh-sungguhan yang mau dicapai.

Semakin mendekati penghujung hidup (baca: tua), semakin naik pula pemahaman bahwa refleksi adalah sebuah wadah yang sangat baik untuk bercerita; menjelaskan apa yang terjadi dalam hidup kita, memilah apa yang menjadi kebingungan, penyebab patah hati, sukacita, dan pelajaran baru.  Ia tidak menjadi satu plot yang semata-mata dipandang sebagai pemenuhan nilai KKM Agama di kelas, tapi ia jauh menerawang apa yang kadang awam saja kalut memikirkannya.

Oleh karena itu, pemilihan refleksi pada tulisan ini dianggap tepat. Tapi aku merasa sedikit keraguan karena di era anti-mainstream ini, lebih baik menggunakan diksi yang terdengar hype dan jarang didengarkan agar keren. Apalagi saat mengilhami arti di baliknya, harus membuka KBBI atau Googling terlebih dahulu. Tenang saja, aku pun begitu. Kata kontemplasi ini juga muncul tanpa aku tahu artinya, lalu kubuka KBBI dan menemukan sinonimnya yaitu refleksi. Jadi, saat aku ingin tulisan ini ada embel-embel ‘refleksi’-nya, kenapa tidak pakai kontemplasi saja yang terdengar lebih tjakep dan puitis?

***

Kontemplasiku hari ini adalah: Apa yang kudapatkan dari menulis di blog ini? Aku memulai blog ini 402 hari yang lalu. Memilih untuk nge-blog adalah pilihan yang sering diutarakan sejak 2017, tapi tidak kesampaian. Aku suka menulis, tapi kadang aku tak yakin tulisanku nyaman dan bisa dinikmati orang lain karena mostly isinya hanyalah curhatan dan keresahan yang tidak pernah bertitik. Salah satu aplikasi yang paling aku gunakan untuk menulis adalah Notes. Tak boleh ada seorang pun memiliki hak membukanya kecuali aku. Isinya sangat sentimental, imajinatif, kadang tidak realistis, dan kontroversial. Hingga pada akhirnya, tulisan itu itu saling menimbun tulisan lainnya, tak ada yang membacanya kecuali diriku yang kadang kepo sama isi tulisanku sendiri.

Sebelumnya aku punya blog pribadi yang berisi cerita bersambung, tapi tidak pernah tamat karena tidak ada keseriusan untuk dilanjutkan. Setelah itu, blog itu kulenyapkan dan kebiasaan menulis itu pun terlempar begitu saja di catatan-catatan dan pikiran yang semrawut.

Tahun 2020 aku bertemu Twitter, platform yang sempat kugandrungi waktu masih menggilai KPop dan tetek bengeknya. Akun itu juga terblokir karena didaftarkan tidak saat cukup usia minimal, dan akhirnya akun baru pun terbentuk. Di sana aku memulai untuk mencoba jujur dalam tiap cuitanku meski followers tak seberapa.

Sampai aku pun melihat fitur InstaStory yang lumayan membantu merealisasikan cita-cita untuk menyampaikan cerita. Hanya saja, beberapa kali tak semua bisa diceritakan karena terbatas jumlah karakter. Maka dari itu, wacana membangun sebuah blog pun jadi pelarian terakhir menghilangkan hasrat ingin bercerita. Dan FloweryJournal menjadi nyata.

Di hari buruh internasional tahun 2020, postingan tulisan pertamaku yang membahas belajar bahasa Korea pun terbit juga. Rencanaku tidak begini sebenarnya, karena aku ingin menjadikannya sebuah diary daring yang berisikan isi kepalaku yang acak kadut. Akan tetapi demi ada sedikit esensi dalam blog ini, maka postingan tentang belajar bahasa Korea itu pun terjadi.

Rencananya aku akan menulis minimal satu tulisan dalam satu bulan. Aku mematoknya demikian agar fokus membangun blog ini. Akhirnya sudah tertebak, wacana itu tetaplah wacana saja. Karena ternyata, mengatur blog pribadi itu menjadi ‘beban’ baru. Bagaimana kalau aku tidak ada ide menulis yang ‘aman’? Apa boleh aku menuliskan isi hatiku sepuasnya tanpa harus dipertanyakan keabsahannya? Atau apa yang bisa pembacaku dapatkan kalau membaca tulisanku?

Maka di enam bulan awal tulisan blog ku, jumlah postingannya hanyalah itungan jari. Aku seperti linglung, mau diapakan blog ini? Aku mau tulis ini, tapi ragu. Nulis itu, ragu juga. Jadi memang lebih baik kalau dia dalam tumpukan Notes saja.

Tahun 2021, I barely wrote at all. Di Notes ada beberapa, tapi itu hanya sambatan tak berfaedah jadi untuk apa pula mengganggu kesucian blog ini. Tulisan yang layak masuk ke dalam blog tak ada satupun yang sesuai kualifikasi. Sunting kiri, sunting kanan, tak bisa diselamatkan. Akhirnya mulai Februari hingga akhir Mei 2021, aku tidak mengisi apa pun pada blog ini.

Mungkin ini sebab aku terlalu berkutat dengan hal duniawi begitu sengitnya, sampai lupa apa yang sebenarnya aku kejar dan inginkan. Aku pernah dan excited sekali saat punya blog, saat bisa menunjukkan rasa yang jujur. Tapi setelah memilikinya, kenapa ia malah jadi beban tersendiri, dan pada akhirnya terlupakan?

Maka dari itu aku memulai corner Kontemplasi ini dengan keinginan besar bahwa, aku bisa terus merefleksikan, merenungkan apa yang jadi tujuanku saat menulis. Jangan terlalu sering plin-plan. Jikalau memang Notes adalah satu-satunya safe place-mu untuk jujur dan menutup kesempatan pada orang lain untuk mendengarkannya, maka tidak perlu ada blog ini. Hapus saja dan lakukan yang kau yakini benar.

Padahal jika ditelaah lagi, hal-hal duniawi yang kerap mengganggu kenikmatan tidur itu kadang menghasilkan deretan tulisan di Notes. Tulisan-tulisan yang ditulis pada akhir Mei itu pun tak harmless, offensive, atau mencelakai orang lain. Kalau sejatinya ia bisa jadi bahan yang mungkin bisa membantu pembaca, kupikir lebih bijak untuk melakukannya daripada menebak-nebak hasil yang tidak perlu ditebak juga.

Aku pun jadi lebih berani untuk memproses rasa dengan lebih jujur, teratur, dan tentu saja, takkan menganggu kemaslahatan orang lain. Aku berusaha, dan kurasa ini jadi bagianku yang ingin pula kulepaskan agar ia berhenti memberontak. Memikirkan banyak hal tanpa ada aksi yang berarti, takkan bisa membawa hal itu kemana-mana dan malah menggandakan hal lain yang tak perlu.

Empat ratus dua hari bersama blog ini pun ternyata ada pasang surutnya (meski kebanyakannya surutnya). But it’s totally fine. Adanya blog ini perlahan menyeretku menemukan inti dan nilai yang ingin kudapatkan dari tulisan ke tulisan lain. Dan kontemplasi akan kehadiran blog ini pun juga mengizinkanku semakin berani mengutarakan apa yang harus ditulis, dibaca, dan didengarkan meski tidak ada label sempurna di sana. Takkan ada rencana atau patokan apa-apa selanjutnya, karena aku akan biarkan ia kembali pada jati dirinya: menjadi tempat menuliskan perasaan yang jujur.

           

           

             

Comments

Popular posts from this blog

Lolos TPA PAPs UGM Skor 550+ dalam 1,5 Bulan

Jika kamu memutuskan untuk melanjutkan pendidikan tingkat magister dan doktoral di Universitas Gadjah Mada, maka kamu akan bertemu dengan sebuah persyaratan yaitu skor TPA. TPA atau Tes Potensi Akademik adalah sebuah tes yang dilakukan untuk menguji kemampuan seseorang yang biasanya dilihat dari empat sub tes: Verbal, Angka, Logika, Spasial/Gambar. Sepengetahuanku, TPA biasanya hanya akan terdiri dari sub-sub tes di atas. Terutama bagi TPA jenis tes PAPs (Potensi Akademik Pascasarjana). Berhubung TPA yang aku ikuti hanyalah PAPs maka aku akan lebih menjelaskan apa pun yang berhubungan dengannya. Kebetulan aku perlu skor dan sertifikat PAPs untuk memenuhi pendaftaran di gelombang 2 semester gasal 2021/2022. Jadi, aku akan membagikan pengalamanku mengikuti tes PAPs dalam masa-masa pendaftaran semester gasal saja, yap. Apa itu PAPs? PAPs adalah tes potensi akademik yang diperuntukkan bagi calon pendaftar program pascasarjana (magister dan doktoral) UGM dan pertama kali diluncurkan o...

Menjadi Orang Tua Suportif

 Nemu sebuah menfess di base Twitter. Basically ini chat dua orang yaitu anak & ibu tentang hasil pengumuman SNBP (atau SNMPTN, penyebutan sebelumnya).  Lihat menfess & chat ini aku jadi realize bahwa sebenarnya privilege paling sederhana yang mungkin bisa didapatkan oleh seorang anak yaitu "support orang tua atas keputusan anaknya". Aku yakin anak ini pasti sangat cemerlang di sekolah dan tau apa yang dia inginkan untuk masa depannya. Tapi melihat respon orang tuanya, aku sangat prihatin dan ikut tersayat hati.  Link Menfess Tapi memang itulah yang terjadi. Nggak jarang pula bahwa ada tipe orang tua yang merasa sebagai "sopir" dalam kehidupan anak-anaknya. Bahwa anak yang dihasilkan adalah suatu keharusan bagi mereka untuk menurut dan berbakti ke orang tua. Anak sering nggak diberi ruang untuk bertumbuh sesuai minat yang membuat dia nyaman. Kadang, anak malah nggak boleh membantah karena alasan materi alias orang tua yang bakalan bayarin sekolah, jadi anak ...

Semarak Lulus Jilid 2

Sudah lama tulisan ini mengendap di draft. Nggak dipungkiri sih, cukup banyak ketegangan dan perubahan-perubahan dalam hidup yang sebenarnya ingin diceritakan, tapi perlu niat yang besar. Seperti tulisanku yang menuliskan gimana 'semarak'nya kelulusan S1 awal 2021 lalu, kali ini aku ingin menorehkan kembali apa yang kualami untuk menambah gelar di belakang suku kata terakhir namaku. Proses untuk meraih gelar magister nggak mudah. Aku sudah pernah share di post sebelumnya kalau aku benar-benar under pressure untuk menuntaskan tesis sampai di titik I believe I don't want to write another academic writing forever. Ada perasaan trauma(?) atau semacam ingin kabur ketika harus kembali membuka laptop dan mengetikkan rumusan penelitian hingga tuntas. Tapi bagaimana bisa kabur, sekarang karierku harus berurusan dengan mereka... Yang tentu saja dengan penuh usaha akan aku lakukan, sembari berdamai dengan jurnal-jurnal dan buku-buku akademis itu. Juli 2023 aku lulus sidang tesis. Aku ...