Skip to main content

Semarak Lulus Jilid 2

Sudah lama tulisan ini mengendap di draft. Nggak dipungkiri sih, cukup banyak ketegangan dan perubahan-perubahan dalam hidup yang sebenarnya ingin diceritakan, tapi perlu niat yang besar. Seperti tulisanku yang menuliskan gimana 'semarak'nya kelulusan S1 awal 2021 lalu, kali ini aku ingin menorehkan kembali apa yang kualami untuk menambah gelar di belakang suku kata terakhir namaku.

Proses untuk meraih gelar magister nggak mudah. Aku sudah pernah share di post sebelumnya kalau aku benar-benar under pressure untuk menuntaskan tesis sampai di titik I believe I don't want to write another academic writing forever. Ada perasaan trauma(?) atau semacam ingin kabur ketika harus kembali membuka laptop dan mengetikkan rumusan penelitian hingga tuntas. Tapi bagaimana bisa kabur, sekarang karierku harus berurusan dengan mereka... Yang tentu saja dengan penuh usaha akan aku lakukan, sembari berdamai dengan jurnal-jurnal dan buku-buku akademis itu.

Juli 2023 aku lulus sidang tesis. Aku teringat kembali masa-masa aku harus menghubungi objek penelitian potensial yang sesuai dengan topik yang kumau. Pencarian itu berjalan selama berbulan-bulan; hingga berakhir pada suatu NGO yang bergerak di bidang perawatan paliatif pada anak.

Alasan terbesar aku memilih penelitian dengan objek ini adalah karena oma. My grandma passed away 13 years ago after battling with gastric cancer for 2 years. Aku, yang masih berusia 10 tahun saat itu, hanya mendengar cerita bagaimana sedihnya keluarga dan terutama caregiver (my mom) have to deal with all the sorrow, terutama karena ini cancer my grandma nggak bisa makan secara normal, harus dispuit melalui tube yang melubangi perutnya dan tersambung hingga lambungnya. She couldn't process solid foods at all. 

I had strong relationship with grandma for years. The little me always went to her house every day after school and it became intense after my mom giving birth to my brother. As the second born, I know my mom's priority had switched to my infant brother. So my grandma took that responsibility to take care of me. I remember it vividly, around 2006-2008, I was literally living in my grandma's armpit. I went everywhere with her: from buying groceries, eating out, and visiting his sister's house. And just like another loving grandma, she fed me tons of foods that my mom could never give to me. 

That's the reason why I was so devastated when I learned she fell very ill and diagnosed with that cancer.

I often went to the doctor with her because she always complained about her stomach condition. She took pills for her gassy gastric almost everyday. The doctor said it's just an normal gastric problem. I was too young to process everything. Sometimes I'm thinking, what if the granddaughter accompanying her to doctor is not six years old me, but the well-informed 23 years old me? Will my grandma be alive until now, or perhaps, get the best treatment rather than only consuming pills for years and eventually destroying her gastric?

Semuanya hanyalah angan.

Dan di usia inilah aku mempelajari banyak hal baru, salah satunya perawatan paliatif. Perawatan ini adalah salah satu perawatan pendamping kuratif bagi salah satunya yaitu pasien kanker. Selama 2 tahun itu, oma nggak pernah dapet perawatan tersebut. Mungkin saja memang karena hidup jauh dari pulau Jawa yang penuh kemajuan di bidang medis, opsi-opsi selain perawatan kuratif sangat jarang tersebutkan. Aku membayangkan bagaimana pasien-pasien dan keluarganya harus berjuang dengan seluruh usahanya, namun pada akhirnya yang tersisa hanyalah harapan sembuh kecil dan trauma kehilangan?

Aku nggak bisa diam saja dan hal yang setidaknya bisa kulakukan adalah menaikkan awareness mengenai perawatan ini ke lebih banyak lagi orang banyak, sesuai dengan bidangku. Aku bukan dari kalangan medis yang mengerti bagaimana harus melakukan perawatan-perawatan tersebut, tapi dengan latar belakang studiku, aku ingin informasi mengenai opsi itu bisa tersalurkan lebih dahulu dengan media yang paling sering digunakan hampir setiap saat: media sosial.

Meski aku melakukan penelitian ini dengan tekad kuat seperti itu, ternyata memang ada banyak faktor lainnya yang nggak bisa kuukur. Aku sudah lumayan khatam dengan berbagai rintangan yang hadir ketika rencana atau impian terbentuk. Kali ini rintangannya lagi-lagi adalah finansial. Kadang aku juga suka menyalahkan situasi, kenapa harus hidup di kehidupan ini dengan segala ketidakadaan? Aku hampir putus kuliah S1 dulu. Dan ya aku pun sudah khatam rasanya diberi belas kasihan didampingi ucapan-ucapan yang masih kuingat sampai hari ini. Kenapa masih harus merasakan ini semua, padahal permintaanku sebenarnya bukan untuk diriku sendiri melainkan untuk orang banyak?

Rintangan itu semakin terasa ketika aku kembali harus mengajak diri berperang menyelesaikan tiap bab yang terasa nggak selesai-selesai. Revisi demi revisi berdatangan. Apa yang kugambarkan dalam otakku mengenai kuliah S2 dan menyelesaikan tesis dengan 'keren' nyatanya hanya sebatas di pikiran saja. Aku beruntung masih punya support dari teman, pacar, keluarga. Tapi setelah itu? Aku tetap harus menulisnya sendiri. Aku menghabiskan rata-rata 12 jam sehari duduk depan layar, berpindah dari satu perpustakaan ke perpustakaan lain. Jika perpustakaan sudah tutup, aku akan pindah ke kafe dekat kos. Memaksa diri fokus hingga jam 11 malam. Begitu terus sampai akhirnya awal Juli selesai, setelah hanya 10 hari mendorong diri masuk dalam kubangan tesis itu. Sebelumnya di bulan Juni, permasalahan finansial itu selesai juga dan aku akhirnya bisa melanjutkan penelitian yaitu mengambil data di Jakarta tempat objek penelitianku berada.

Rasa syukur itu terlampau besar ketika semuanya sudah selesai menjelang deadline dan aku dengan tenang bisa ke Jakarta lagi untuk ngonser. Aku akan berbagi kisah itu di postingan selanjutnya. Pendaftaran tesis pun dilakukan di dalam kereta dengan perasaan ketar-ketir bagaimana kalau jadwal sidangku bertepatan dengan jadwal pulang ngonser?

Untungnya jadwal sidang masih memungkinkan aku untuk mempersiapkan bahan presentasi dan belajar. Dengan bantuan dosen pembimbing yang suportif tentunya, Mas Wid, aku sangat dimudahkan dalam proses sidang. Tidak ada drama-drama seperti beliau susah ditemui untuk sekadar meminta bimbingan. Beliau selalu konsisten memberikan waktu dan tempat untuk bimbingan hampir tiap saat. Oleh karena itu, aku merasa sangat amat berterima kasih kepada beliau.

13 Juli 2023, Jogja mendung. Aku dijadwalkan sidang jam 10. Aku datang lebih awal 30 menit dan mempersiapkan diri. Sidang berjalan dengan amat lancar dan lagi-lagi nggak sesuai perkiraan dan ekspetasiku. Di bayanganku (apalagi ini pengalaman sidang offline pertama), sidang itu sangat menyeramkan dan harus berlempar argumen tingkat setengah dewa melihat tingkatan studi yang sudah strata 2 itu. Akan tetapi, yang terjadi malah sidang ini terkesan sebagai sesi diskusi yang membantu untuk mengembangkan substansi tesis menjadi lebih baik lagi. Semua masukan itu menjadi revisi yang kemudian jadi bahan pusing-pusingan part selanjutnya. 

Karena Jogja hujan, aku nggak begitu berharap prodi akan ramai dengan teman-teman. Yang aku yakini datang adalah temanku yang sudah bareng dari awal sempro dan beberapa pejuang lulus 2 tahun lainnya. Ternyata cukup banyak yang datang memberikan selamat dan hadiah-hadiah. Tentu ditambah satu buket dari si pacar yang secara mandiri kubawa karena dikirim ke kos 1 hari sebelum sidang. Kami berfoto-foto di spot foto sejuta umat prodi dan diakhiri dengan makan siang bareng teman SD yang juga sudah lama sekali nggak ketemu dan dia lagi studi di kampus yang sama. Lalu, kita nonton bareng film Mission Impossible terbaru. Hari itu ditutup sangat indah dan penuh sukacita. 

Selang beberapa hari aku sempatkan untuk balik Surabaya dengan kedok refreshing setelah sidang. Tau-taunya, ketika balik Jogja aku jadi guide dadakan untuk membawa tante dan sepupu berkeliling Jogja, Magelang, dan Solo. Hidup cukup berasa santai setelah pace beberapa bulan sebelumnya isinya hanya tegang, tegang, dan tegang. Di penghujung bulan Juli dan awal Agustus, akupun akhirnya menyelesaikan seluruh kewajiban revisi dengan dosen pembimbing karena ada agenda lain yang sudah menunggu: pulang kembali ke Surabaya.

Awal September, aku dijemput pacar untuk kembali ke Surabaya karena karierku akan dimulai sebentar lagi. Di bulan itu, aku juga memulai kerjaan baru dan mendaftar yudisium serta sidang. Aku juga mulai mencari-cari jasa makeup dan fotografer yang akan dipakai saat wisuda nanti. 

26 Oktober 2023 aku akhirnya wisuda setelah kurang lebih 2 tahun menempuh pendidikan S2. Aku berangkat bersama kakak dan pacar. Merekalah pendampingku di sana, karena mamaku belum bisa hadir saat itu. Aku juga bersyukur ternyata mendapatkan predikat Wisudawan Termuda dari Fisipol karena selain memang aku lulus S1 lebih awal dan langsung lanjut S2, aku juga cepat masuk SD dulu. Kadang aku merasa kasihan sekali masa kecilku umur 5 tahun sudah SD di mana mungkin yang lain masih pada bermain di taman kanak-kanak. Tapi khusus kali ini aku perlu berterima kasih karena masuk sekolah secepat itu bisa membuahkan predikat tersebut.

Perjalanan studi ini berakhir dengan senyuman dan sedikit perasaan lega. Semua dinamika yang terjadi ternyata membuatku sadar bahwa kesempatan menginjakkan kaki di salah satu kampus terbaik di Indonesia adalah impian orang lain yang mungkin terasa mustahil untuk digapai. Dan aku sekali lagi merasa bersyukur, menuntaskan tesis dengan tekad dan keyakinan yang sama.

Comments

Popular posts from this blog

Lolos TPA PAPs UGM Skor 550+ dalam 1,5 Bulan

Jika kamu memutuskan untuk melanjutkan pendidikan tingkat magister dan doktoral di Universitas Gadjah Mada, maka kamu akan bertemu dengan sebuah persyaratan yaitu skor TPA. TPA atau Tes Potensi Akademik adalah sebuah tes yang dilakukan untuk menguji kemampuan seseorang yang biasanya dilihat dari empat sub tes: Verbal, Angka, Logika, Spasial/Gambar. Sepengetahuanku, TPA biasanya hanya akan terdiri dari sub-sub tes di atas. Terutama bagi TPA jenis tes PAPs (Potensi Akademik Pascasarjana). Berhubung TPA yang aku ikuti hanyalah PAPs maka aku akan lebih menjelaskan apa pun yang berhubungan dengannya. Kebetulan aku perlu skor dan sertifikat PAPs untuk memenuhi pendaftaran di gelombang 2 semester gasal 2021/2022. Jadi, aku akan membagikan pengalamanku mengikuti tes PAPs dalam masa-masa pendaftaran semester gasal saja, yap. Apa itu PAPs? PAPs adalah tes potensi akademik yang diperuntukkan bagi calon pendaftar program pascasarjana (magister dan doktoral) UGM dan pertama kali diluncurkan o...

Menjadi Orang Tua Suportif

 Nemu sebuah menfess di base Twitter. Basically ini chat dua orang yaitu anak & ibu tentang hasil pengumuman SNBP (atau SNMPTN, penyebutan sebelumnya).  Lihat menfess & chat ini aku jadi realize bahwa sebenarnya privilege paling sederhana yang mungkin bisa didapatkan oleh seorang anak yaitu "support orang tua atas keputusan anaknya". Aku yakin anak ini pasti sangat cemerlang di sekolah dan tau apa yang dia inginkan untuk masa depannya. Tapi melihat respon orang tuanya, aku sangat prihatin dan ikut tersayat hati.  Link Menfess Tapi memang itulah yang terjadi. Nggak jarang pula bahwa ada tipe orang tua yang merasa sebagai "sopir" dalam kehidupan anak-anaknya. Bahwa anak yang dihasilkan adalah suatu keharusan bagi mereka untuk menurut dan berbakti ke orang tua. Anak sering nggak diberi ruang untuk bertumbuh sesuai minat yang membuat dia nyaman. Kadang, anak malah nggak boleh membantah karena alasan materi alias orang tua yang bakalan bayarin sekolah, jadi anak ...