Nemu sebuah menfess di base Twitter. Basically ini chat dua orang yaitu anak & ibu tentang hasil pengumuman SNBP (atau SNMPTN, penyebutan sebelumnya).
Lihat menfess & chat ini aku jadi realize bahwa sebenarnya privilege paling sederhana yang mungkin bisa didapatkan oleh seorang anak yaitu "support orang tua atas keputusan anaknya". Aku yakin anak ini pasti sangat cemerlang di sekolah dan tau apa yang dia inginkan untuk masa depannya. Tapi melihat respon orang tuanya, aku sangat prihatin dan ikut tersayat hati.
Link Menfess |
Tapi memang itulah yang terjadi. Nggak jarang pula bahwa ada tipe orang tua yang merasa sebagai "sopir" dalam kehidupan anak-anaknya. Bahwa anak yang dihasilkan adalah suatu keharusan bagi mereka untuk menurut dan berbakti ke orang tua. Anak sering nggak diberi ruang untuk bertumbuh sesuai minat yang membuat dia nyaman. Kadang, anak malah nggak boleh membantah karena alasan materi alias orang tua yang bakalan bayarin sekolah, jadi anak nggak usah menuntut macam-macam.
Aku pernah nemu kasus di mana orang tua mati-matian masukkin anaknya ke jurusan IPA waktu SMA dan kemudian mengarahkan untuk ambil jurusan dengan basis ekonomi kayak akuntasi, manajemen saat kuliah. It's not a problem kalo emang anaknya suka IPA dan rela sekolah 3 tahun berkutat dengan ilmu sains, lalu harus banting setir belajar mengenai perhitungan pajak atau membuat laporan keuangan. Tapi bagaimana dengan yang akhirnya terpaksa harus melakukannya, sampai di titik bahwa menuntut ilmu adalah suatu beban hidup yang berat?
Aku paham bahwa restu orang tua dalam tiap langkah anak itu penting. Tapi "memaksakan" sesuatu yang jelas nggak disukai anak untuk bisa menggaet restu orang tua, itu juga sebuah masalah yang sejatinya nggak perlu. Kecuali jika anak itu memang meminta atau setuju untuk mengikuti kemauan orang tuanya dengan sukarela.
Aku percaya komunikasi dalam keluarga yang sehat dimulai dengan memberikan ruang diskusi antara orang tua dan anak, bukan serta merta hanya mendikte dan meniadakan kemungkinan bahwa ada talenta anak yang bisa dikembangkan tapi nggak sejalan dengan keinginan orang tua.
Jujur aku nggak pernah kepikiran gimana nasibku sekarang kalo aku punya orang tua yang nggak suportif seperti contoh di atas, yaitu memaksa anak-anaknya hidup dalam skenario yang sudah ditentukan; bagaimana kemudian minatku yang selama ini aku tekuni harus kandas hanya karena menuruti kemauan mereka.
23 tahun bernapas, aku nggak pernah sekalipun mengizinkan kemudiku "disetir" sama orang tua. Dulu pas SD, aku cukup rebel dan keras kepala. Bener-bener nggak suka dikekang apalagi dalam hal belajar, kecuali semakin naik kelas aku disuruh ikut les beberapa mata pelajaran karena mama udah nggak bisa ngajarin materinya lagi kalo misal mau ulangan atau sekadar ada PR.
Terlepas disuruh ikut les-lesan itu, aku udah paham mau gimana dengan hidupku. At that time, ketika SMP, aku sadar kalau matematika dan sains bukan kemampuanku yang menonjol. Aku lebih cenderung lebih baik di bahasa, sastra, dan sejarah. Sejak saat itu, aku udah punya impian realistis yaitu pengen jadi jurnalis atau diplomat.
Untuk merealisasikan mimpi itu, I did my research tentang jurnalisme & diplomasi yang membawaku untuk membuang jauh-jauh pilihan IPA di form pemilihan jurusan SMA. Saat itu, aku daftar di salah satu sekolah negeri di kota kelahiran lewat jalur prestasi. Jelas banget aku centangin pilihan 1 di Bahasa dan pilihan 2 di IPS.
Pas pengumuman keluar, namaku ada di list kelas IPA. Aku tanya panitia PPDBnya yang kebetulan juga guru di sekolah itu, beliau bilang padaku: Sayang loh kamu ada prestasi bagus saat SMP, kenapa malah mau masuk Bahasa? Kamu di IPA aja ya.
Aku paham kalau emang bagi orang-orang jurusan IPA itu jurusan "kebanggaan" dan "keinginan" kebanyakan orang karena dengan masuk IPA kesempatan pilih jurusan di universitas bisa lebih luas. I think that's surely a problem ya. Membuat satu jurusan tertentu dirasa lebih baik dari lainnya dan membuat kebijakan bahwa IPA punya kesempatan untuk daftar lebih banyak jurusan kuliah itu nggak banget. That's why hal yang aku jelasin di atas tentang kasus anak IPA malah linjur ke ilmu ekonomi itu jadi lazim. Semua itu terjadi, karena masyarakat kita justru mengotak-ngotakkan kemampuan murid hanya karena dia berprestasi sehingga dia harus masuk IPA, atau IPA selalu dianggap jurusan segudang siswa berprestasi.
Memangnya Bahasa nggak bisa mencetak prestasi juga, dan hanya dianggap sebagai jurusan "buangan" bagi mereka yang nggak lolos di IPA maupun IPS? Tentu saja itu hanyalah asumsi yang dibentuk karena ekosistem pendidikan di tempatku bersekolah itu cenderung menganakemaskan mereka yang di IPA, apalagi yang di kelas unggulan. Karena pada kenyatannya, nggak jarang anak Bahasa juga membawa pulang piala setelah mewakili sekolah.
I hope seiring berjalannya waktu, labelling ke suatu jurusan tertentu di semua tingkat pendidikan dapat menghilang, sehingga beban-beban anak yang orang tuanya terpaku karena labelling tersebut bisa perlahan berkurang pula.
——
Pada akhirnya, aku pun kekeuh untuk pindah Bahasa. Mama saat itu tanya sekali, apa sudah yakin di Bahasa? Apa mau coba IPS aja?
Aku jelaskan semua rencana masa depan terutama tentang karier. Kemudian, mama nggak pernah nanya lagi tentang keputusan yang aku ambil setelahnya.
Menjelang masuk kuliah, aku daftar di dua tempat: universitas swasta untuk jurusan Ilkom dan SNMPTN untuk jurusan HI.
Rezekinya ternyata masuk di Ilkom.
Tapi di saat aku masum Ilkom pun, masih ada ucapan dari beberapa orang yang menyayangkan pilihanku kenapa harus masuk Ilkom, seharusnya bisa ambil ilmu ekonomi seperti manajemen, akuntansi, bahkan teknik.
Beruntungnya diriku dilengkapi dengan mama yang sangat suportif dan beliau sendiri yang bilang ke orang-orang itu "biarkan dia ambil jurusan yang dia senangi". Sejak saat itu, aku juga nggak pernah ambil pusing lagi. Fast forward to now, dengan pilihan yang udah aku ambil dan support beliau, aku bahkan sudah di tahap pendidikan yang lebih lanjut.
My mom never questioned my choices; meski suportif, beliau tentu tetap memonitor progressnya. Namun, sekarang aku berandai-andai, gimana ya kalo misal saat itu beliau nggak izinin aku masuk Bahasa dan maksa masuk IPA karena labelling masyarakat tentang suatu jurusan? Apakah nasibku saat ini bakalan tetap sama? Atau aku mungkin sudah hampir gila karena dicekoki topik pelajaran yang aku nggak suka? Bagaimana juga kalau saat itu aku ikut kata orang untuk ambil jurusan ekonomi, manajemen, atau akuntansi? Apa sekarang aku beneran kerja di sektor itu? Atau bisa jadi malah putus sekolah tengah jalan?
Dan aku bersyukur nggak perlu jawab pertanyaan itu selamanya.
And that's the real privilege!
Sekarang, aku tinggal enjoy my life dan merencanakan keputusan-keputusan selanjutnya dalam hidup, sembari berdoa agar aku bisa memberi privilege yaitu menjadi ibu yang sangat suportif dengan keputusan anakku kelak.
For parents/parents-to-be out there, always be supportive towards your children's choices, ya! Coba untuk buka jalur komunikasi untuk senantiasa berdiskusi dua arah. Nggak ada salahnya untuk menjadi pendengar yang baik untuk calon-calon orang hebat di masa depan :)
Comments
Post a Comment