Skip to main content

Set to Default

Slump.

Kata ini baru saya temukan sekitar pukul 18.00 WIB tadi. Tak ada yang spesial di balik kata tersebut atau mungkin waktunya. Seharian, pikiran saya cukup mengawang, entah ingin menggapai apa dan di mana. Saya bangun sedikit terlambat hari ini karena efek obat flu. Ya, saya tadi malam merasa sedikit flu tapi ternyata hari ini saya baik-baik saja.

Begitu yang saya kira.

Namun, setelah bangun tidur saya menatap laptop. Tidak tahu saya harus apakan lagi laptop saya hari ini; bisa saja bermain-main dengan Corel, mengukir dalam Word, atau menatap layarnya yang gelap saja. Kegiatan yang sama seperti hari kemarin. Saya merasa hidup saya terperangkap dalam barang berbentuk kotak ini. Bahkan ketika saya mengetik tulisan ini di laptop, saya akhirnya memastikan untuk terakhir kalinya bahwa memang saya tidak bisa lepas dari barang ini.

Keadaan yang merumahkan dan menjauhkan dari aktivitas saya sebelumnya ternyata sulit beradaptasi dengan diri lama saya. Saya bisa menghabiskan 14 jam di luar rumah namun tidak bisa kalau harus menghabiskannya di dalam rumah. Makanya, saya pun menjadikannya sebagai alasan bahwa saya tak mumpuni jika disuruh beraktivitas dalam rumah dalam waktu yang lama. Perasaan yang tidak mengenakkan ini menjadikan saya tak mampu duduk dan menatap sesuatu di suatu ruang yang sama terus menerus hingga menghasilkan sebuah kebiasaan buruk yang repetitif yaitu menunda-nunda kerja karena saya tahu suasana dan tempat kerja saya akan terus begitu. Takkan berubah hingga saya keluar mencari tempat nyaman.

Bulan Juni dan Juli kemarin saya dibombardir tugas magang (which I liked and enjoyed the most), tidak begitu banyak menyentuh hal-hal berbau scientific writing. Agustus, saya mulai menggarap bab analisis yang cukup berat, menonton seri Fast and Furious untuk keempat kalinya hingga akhirnya saya sudah khatam dengan jalan ceritanya. Memasuki September, jadwal kuliah kembali normal. Saya ikut mata kuliah public speaking tiap Rabu pagi. Jadwal bimbingan magang dan skripsi juga berjalan normal dan berjalan beriringan. Pikiran saya akhirnya langsung hanya fokus ke sana mau tak mau. Serasa hari-hari saya dirasuki dengan dokumen yang meronta-ronta untuk diselesaikan.

Padahal, jika dipikir-pikir, 25 Agustus lalu saya baru menuliskan sisi positif dari Covid-19 yang saya rasakan: belajar investasi, membaca banyak hal baru di media sosial, mengikuti webinar gratis kaya pengetahuan dan sebagainya. Bayangkan, hanya dalam waktu setengah bulan sisi positif itu akhirnya terkalahkan dengan rasa jenuh yang berusaha saya tepis namun gagal. Namun di satu sisi, inilah sisi manusia yang sebenarnya. Mereka dinamis dan rapuh, tidak tertebak, dan hampir seenaknya mengatur jalannya hidup.

Kenyataan itulah yang dibuktikan oleh otak saya yang tidak siap memproses segala keterburu-buruan dan ketidakpastian yang tertahan karena komunikasi virtual. Tembok-tembok pemisah yang terbentuk menambah beban pikiran. Maka dari itu, pekerjaan saya tidak bisa berjalan mulus, atau bahkan menghasilkan sesuatu yang memuaskan semua indera.

Photo by Abbie Bernet on Unsplash

Menjalankan semuanya secara simultan betul-betul draining dan tiring. Saya sampai di tahap self-diagnosed bahwa saya mungkin saja depresi akibat Covid-19 yang memukul mundur segala aktivitas terdahulu sehingga saya mencari pembenaran dalam ponsel dan hiburan-hiburan menyita waktu.

Tanpa sadar, waktu saya terbuang cuma-cuma pada platform itu. Merasa tak panik karena mengulur kesempatan sudah dianggap biasa. Berkali-kali saya mencoba mengingatkan diri agak tidak lepas jauh, tapi pada akhirnya saya kembali merasa muak dengan rutinitas yang itu-itu saja. Kualitas kerja saya tidak sehebat janji-janjinya. Motivasi anjlok di titik terendah dan pada saat itulah saya definisikan diri saya sedang berada di tahap slump. 

Pertahanan diri yang terbentuk selama ini bertahan keras untuk hidup. Di tahap ini, ingin sekali rasanya punya tombol set to default yang sekali-kali bisa saya tekan jika inner-self saya memaksa mulut berkata “aku sedang tidak baik-baik saja”. Supaya, fase slump ini tidak memakan habis isi badan saya dengan dalih “kamu harus kuat, kamu pasti bisa” yang terdengar omong kosong dan beracun.

Saya masih belum bisa memastikan kapan slump ini pergi; apakah dia pergi dengan sendirinya atau harus saya bantu carikan solusi. Namun sejauh saya menulis tulisan ini, saya merasa sedikit plong dan bisa meluruskan bahu saya yang membungkuk menatap laptop sehari suntuk.

Comments

Popular posts from this blog

Lolos TPA PAPs UGM Skor 550+ dalam 1,5 Bulan

Jika kamu memutuskan untuk melanjutkan pendidikan tingkat magister dan doktoral di Universitas Gadjah Mada, maka kamu akan bertemu dengan sebuah persyaratan yaitu skor TPA. TPA atau Tes Potensi Akademik adalah sebuah tes yang dilakukan untuk menguji kemampuan seseorang yang biasanya dilihat dari empat sub tes: Verbal, Angka, Logika, Spasial/Gambar. Sepengetahuanku, TPA biasanya hanya akan terdiri dari sub-sub tes di atas. Terutama bagi TPA jenis tes PAPs (Potensi Akademik Pascasarjana). Berhubung TPA yang aku ikuti hanyalah PAPs maka aku akan lebih menjelaskan apa pun yang berhubungan dengannya. Kebetulan aku perlu skor dan sertifikat PAPs untuk memenuhi pendaftaran di gelombang 2 semester gasal 2021/2022. Jadi, aku akan membagikan pengalamanku mengikuti tes PAPs dalam masa-masa pendaftaran semester gasal saja, yap. Apa itu PAPs? PAPs adalah tes potensi akademik yang diperuntukkan bagi calon pendaftar program pascasarjana (magister dan doktoral) UGM dan pertama kali diluncurkan o...

Menjadi Orang Tua Suportif

 Nemu sebuah menfess di base Twitter. Basically ini chat dua orang yaitu anak & ibu tentang hasil pengumuman SNBP (atau SNMPTN, penyebutan sebelumnya).  Lihat menfess & chat ini aku jadi realize bahwa sebenarnya privilege paling sederhana yang mungkin bisa didapatkan oleh seorang anak yaitu "support orang tua atas keputusan anaknya". Aku yakin anak ini pasti sangat cemerlang di sekolah dan tau apa yang dia inginkan untuk masa depannya. Tapi melihat respon orang tuanya, aku sangat prihatin dan ikut tersayat hati.  Link Menfess Tapi memang itulah yang terjadi. Nggak jarang pula bahwa ada tipe orang tua yang merasa sebagai "sopir" dalam kehidupan anak-anaknya. Bahwa anak yang dihasilkan adalah suatu keharusan bagi mereka untuk menurut dan berbakti ke orang tua. Anak sering nggak diberi ruang untuk bertumbuh sesuai minat yang membuat dia nyaman. Kadang, anak malah nggak boleh membantah karena alasan materi alias orang tua yang bakalan bayarin sekolah, jadi anak ...

Semarak Lulus Jilid 2

Sudah lama tulisan ini mengendap di draft. Nggak dipungkiri sih, cukup banyak ketegangan dan perubahan-perubahan dalam hidup yang sebenarnya ingin diceritakan, tapi perlu niat yang besar. Seperti tulisanku yang menuliskan gimana 'semarak'nya kelulusan S1 awal 2021 lalu, kali ini aku ingin menorehkan kembali apa yang kualami untuk menambah gelar di belakang suku kata terakhir namaku. Proses untuk meraih gelar magister nggak mudah. Aku sudah pernah share di post sebelumnya kalau aku benar-benar under pressure untuk menuntaskan tesis sampai di titik I believe I don't want to write another academic writing forever. Ada perasaan trauma(?) atau semacam ingin kabur ketika harus kembali membuka laptop dan mengetikkan rumusan penelitian hingga tuntas. Tapi bagaimana bisa kabur, sekarang karierku harus berurusan dengan mereka... Yang tentu saja dengan penuh usaha akan aku lakukan, sembari berdamai dengan jurnal-jurnal dan buku-buku akademis itu. Juli 2023 aku lulus sidang tesis. Aku ...