Membicarakan masa karantina dengan #DiRumahAja dapat dilihat
dari berbagai sisi, tergantung kita mengamini sisi yang mana. Sebelum pandemi
melanda, manusia diberi kesempatan untuk bersosialisasi tanpa jarak, bertemu
tak kenal takut, dan seolah-olah bahwa dunia akan terus baik-baik saja agar
manusia di dalamnya juga merasa baik.
Kenyataannya, Maret 2020 lalu Indonesia akhirnya membuka
fakta kasus Covid-19 pertama. Ada tiga orang yang dikonfirmasi positif. Setelah
itu, Indonesia geger, panik, dan tanpa basa-basi menjadi alergi bertemu kerabat
dan teman. Hadirlah panic buying. Takut
kalau-kalau populasi tiga virus itu masuk ke tubuhnya jika sering keluar rumah.
Lalu, manusia semakin berhati-hati. Diberlakukanlah kebijakan
untuk tidak keluar rumah jika tidak ada kepentingan. Istilah Work from Home atau WFH jadi populer.
Aplikasi berbasis video conference
jadi pilihan komunikasi. Masker medis ditimbun oleh oknum yang ternyata berakhir
kewajiban menggunakan masker kain. Oknum merugi. Tidak lupa kasak-kusuk
kebijakan physical distancing dan new normal yang jadi sasaran empuk netizen
di dunia maya.
Perlahan kebiasaan yang sering dilakukan jadi berubah. Pada
akhirnya, manusia pun mulai jadi pihak dengan berbagai sisi cerita. Ada yang
beruntung, ada yang buntung. Nasib dan keadaan terpecah-pecah. Satu sisi masih
nyaman unggah InstaStory tanpa takut tagihan kuota bocor, satu sisi was-was
tidak bisa belajar daring. Jangankan kuota terbeli, sinyal saja masih harus
dikejar sambil bergelantungan di pohon. Pun sisi-sisi lainnya yang membawa
cerita berbeda, yang tentu saja, tidak bisa dipungkiri nyata dan tercecer di
lapangan.
Pertengahan Maret 2020, saya masih sibuk keluar dengan
protokol kesehatan. Ujian tengah semester baru saja selesai sehingga ada jeda
dua minggu hingga masuk kuliah lagi. Perkembangan jumlah positif dipantau
melalui media sosial. Tiap hari terjadi pergulatan batin apakah sewaktu-waktu
virus ini bisa mendekati saya. Saya memutuskan untuk lari dan pergi. Mengurung
diri saya dalam rumah dengan serangkaian aktivitas yang terpaksa dilakukan
melalui layar. Pilihan saya saat itu hanya ingin menyelamatkan diri.
Kurungan diri saya makin terasa nyata ketika waktu berjalan
cepat. Ia menyusuri tiap bagian hidup yang terlupakan sebelumnya. Satu bulan,
dua bulan, tiga bulan berlalu. Seperempat tahun telah dihabiskan dengan sedikit
interaksi tatap muka. Rasa bosan dan muak patut saja menghampiri. Hidup di
rumah sudah bagai robot yang disetel tiap jam. Bangun jam 8/9 pagi lalu ambil
gawai, bersantai sejenak dua jam sebelum makan siang. Setelah makan siang, saya
duduk di ruang tamu, scroll, scroll,
scroll. Bosan, saya naik ke lantai dua di mana kamar saya berada. Saya
nyalakan kipas angin, memutar musik dari playlist
andalan saya di Spotify dalam posisi rebahan. Pukul tiga sore, waktunya
mengejar deadline. Dua jam berlalu,
saya membuka folder tontonan yang sudah diunduh. Kalau belum sempat, saya
saksikan secara daring.
Matahari pun terbenam. Jarum jam tepat di pukul enam sore.
Saya matikan kipas angin lalu menyalakan AC. Saya selesaikan sisa tontonan
sebelum beranjak mengisi perut. Setelah itu jika ada webinar atau deadline tambahan, saya selesaikan. Gawai
masih digenggaman, menemani saya dari pukul 10 hingga 12 tengah malam. Setelah
saya mengucapkan selamat tidur pada pacar saya, saya pun terlelap. Ketika mata
saya terbuka di pukul 8-9 pagi keesokan harinya, hidup saya kembali memutari
poros yang sama.
Rasanya? Kosong, dan tentu saja, agak tidak berfaedah.
Maka saya putuskan untuk memulai kebiasaan baru sama seperti
sisi-sisi cerita yang mulai beradaptasi new
normal atau yang saya sebut, masa berteman dengan musuh. Tidak mudah dan
menjengkelkan memang, menceburkan diri dan berada dekat dengan mereka. Namun
itulah adaptasi. Terasa asing namun perlahan akan terbiasa.
Jika berhubungan dengan kesehatan, tidak ada perubahan ke
arah baik. Yang ada, saya banyak kebanyakan makan. Bobot saya naik drastis. Di
tahap ini saya berusaha menerima keadaan bahwa tubuh saya ternyata sangat
menikmati kenikmatan leyeh-leyeh. Maka bagian ini saya akan lewati saja karena
tidak ada bagus-bagusnya dengan sedikit tekad ingin kembali ke bobot ideal.
Sebuah hal yang patut saya syukuri selama pandemi ialah uang
bulanan saya tidak kena potongan meski saya juga jarang belanja di luar lagi
karena makanan disediakan di rumah. Palingan uang saya habis beli perlengkapan
pribadi. Tidak jarang 50% uang itu merayap sendiri masuk ke rekening tabungan
yang berbunga. Hasil iming-iming mbak-mas berseragam ungu yang sering muncul di
pusat perbelanjaan.
Ternyata scroll, scroll
itu bisa bawa dampak baik. Setelah sekian lama akun Twitter saya hilang
ditelan bumi, saya pun membuat sebuah akun baru. Saya dapuk Twitter itu menjadi
catatan harian serta tempat mendapatkan informasi bermanfaat. Cukup Instagram
saja yang memusingkan. Saya mau refreshing
di Twitter.
Karena saya bertekad mengikuti akun-akun berkualitas dari
segi cuitan, saya berusaha mengikuti seluruh akun dari semua latar belakang.
Entah dia psikolog, SJW, komedian, hingga financial
planner saya ikuti saja. Meski saya yakin 80% dari diri saya hanya
angguk-angguk sok memahami isi utas mereka yang berat-berat.
Tidak punya dasar keuangan yang baik dan benar adalah
kesalahan utama saya. Saya menemukan sebuah akun perencana keuangan yang cukup
terkenal. Ia sering berbagi tips investasi mudah bagi milenial. Meski bahasanya
sudah sangat ringan, informasinya tidak bisa nyantol dan berakhir pusing
sendiri. Saya biarkan saja utas itu berseliweran di Twitter.
Lama-kelamaan saya gerah lihat utasnya. Sehebat apa, sih, orang-orang berinvestasi? Apa untungnya? Saya
baca satu per satu komentarnya terlebih dahulu. Terkadang memang kolom komentar
lebih membantu orang awam memahami sesuatu. Tapi saya hari itu salah besar.
Sepertinya pengikut dia memang sudah pintar dan cukup melek investasi. Saya
langsung merasa bagai ada di tengah kerumunan orang lagi nonton musik heavy metal, dan saya sendiri suka musik
jazz. Tidak bisa berbaur.
Maka saya putuskan bahwa saya memang tidak memahami karena
saya sudah menjustifikasi informasi itu sulit.
Melihat banyak orang yang berbondong-bondong investasi
beserta screenshot portofolio, saya
jadi tersentil. Salah satu dari mereka ada mahasiswa usia 17 tahun (berarti
tiga tahun lebih muda dari saya) yang sudah berinvestasi di reksadana sejumlah
20 juta. Dua puluh juta rupiah. Angka yang fantastis bagi saya. Saya telusuri
lebih dalam lagi. Mahasiswa ini rupanya sudah mulai investasi dari usia 15
tahun dengan modal satu juta rupiah saja! Wow,
memangnya bisa investasi mulai dari angka sekecil itu?
Saya sering melihat tante saya trading saham dan saya tahu jumlahnya pasti tidak satu-dua juta.
Alhasil, saya merasa investasi itu bukan untuk kaum berpenghasilan rendah,
apalagi mahasiswa yang bergantung dari transferan orang tua. Makanya saya
kagok. Ternyata ada dunia yang saya belum jelajahi. Dunia investasi ‘recehan’
yang bisa saya tekuni setidaknya. Saya pun makin penasaran dan memutuskan
membasahi diri seutuhnya untuk mempelajari seluk-beluk investasi itu.
Kendala saya yang paling utama adalah sulit memahami istilah.
Portofolio? Saya tahunya itu buat lamar kerja, berisi tulisan atau desain yang
pernah dibuat. Reksadana? Obligasi? Pasar uang? Diversifikasi??? Apalah semua
itu?
Rasa ingin tahu sekaligus sebal setengah mati karena harus
belajar dari nol yang membawa saya akhirnya menyusuri blog demi blog mengenai
istilah itu. Butuh seminggu sampai saya memahami seluruhnya hingga saya pun
direkomendasikan sebuah aplikasi investasi bagi pemula, yaitu Bibit.
Antusiasme melihat duit yang bisa bercuan dengan sendirinya
dengan memilih produk reksadana yang tepat sudah di ubun-ubun. Tabungan saya
kala itu sudah lumayan, bisa beli tiket pesawat Surabaya-Singapore PP tanpa
bagasi. Akan tetapi saya masih goblok dan tidak mau ambil resiko. Bulan Juli
lalu akhirnya saya putuskan untuk menyuntikkan hanya ¼ total dari tabungan ke
Bibit.
Tapi begitulah kondisi uang bagai air yang mengalir ke keran
air. Kalau mesinnya lagi bagus, air yang keluar juga kencang dan cepat.
Sekalinya mesinnya lagi rusak, ada saja kendala yang dirasakan; mulai dari
airnya keluar setengah-setengah atau malah mati sama sekali.
Saya baru merasakan euforia dapat persenan investasi dan
tabungan yang makin banyak ketika mesin air saya rusak mendadak. Seluruh uang
saya ludes mengganti mesin air itu dari awal. Hilang semua tabungan itu tapi
saya hanya bisa merelakan karena untuk apa pula menangisi yang sudah pergi.
Sekarang saatnya bersiap sambut hal yang baru datang.
Syukurnya dana saya di Bibit tidak saya otak-atik. Setidaknya
kegiatan saya tiap malam update keuntungan
portofolio dan membaca kurva (yang ternyata SERU itu) tidak ikut hilang juga. Dan
saat ini saya masih terus belajar mendalami keuangan. Saya mulai dari financial planning dan perhitungannya
untuk pribadi sendiri. Berapa seharusnya dana yang saya alokasikan untuk
tabungan dan hura-hura. Semuanya ternyata ada rumusnya.
Kehadiran Covid-19 selalu saya anggap sebagai berkah. Berkah
bagi saya untuk akhirnya bisa menyisihkan waktu untuk menikmati kesendirian dan
berbicara dengan my inner self. Saya
makin mengerti apa mau diri saya, apa yang saya ingin kejar hingga kenapa saya
harus melakukan suatu hal. Hidup saya bukan hanya sekedar template yang berputar di suatu poros. Setidaknya tidak untuk hari
ini, karena saya menemukan banyak hal di satu sisi dari beribu pintu jalan yang
terpaksa dibangun karena pandemi.
Pada akhirnya, saya juga menemukan suatu tempat pula bagi saya untuk membaca hal baru seperti isu sosial, memaknai kehidupan dari banyak sudut pandang dan menulis lebih banyak. Suatu kegiatan yang terasa ‘mewah’ sebelum virus ini bersilahturahmi ke dunia. Suatu kegiatan yang membuat saya menjadi jujur dan banyak belajar melihat sisi dunia yang akhirnya keluar dengan gamblang: dari sisi mereka yang terdampak, dan mereka yang memberi dampak.
Comments
Post a Comment