Tahun 2012, pertama kali punya akun Twitter serius. Serius, maksudnya dipake buat interaksi sama orang lain dengan interest yang sama yaitu KPOP (miss those glorious dayssss).
Been a fan of 2NE1 & Bigbang since 2010~2011. Dulu ngestan dua grup ini dapat info dari Facebook. Tapi, karena kayaknya ngerasa kurang update, beralih ke Twitter.
Sayangnya akun Twitter itu udah hilang selamanya karena pas daftar masih di bawah umur, hahahaha. Terus terlambat appeal ke Twitter jadinya ilang deh. Padahal semua emosi bocah tertampung di sana dan tentunya, my memories jadi fangirl 24/7!
Aku juga sempat vakum main Twitter sampai tahun 2020, Twitter jadi mulai lumayan terkenal lagi. Aku buat akun baru dengan username yang jelas bukan nama asli. Sepertinya kebawa karena dulu emang jaman fangirling nggak pernah pake nama asli.
Sekian lama nggak main Twitter, mulai follow akun-akun KPOP, drama, film, dan interest lainnya. Saat itu juga punya tekad mau main Twitter untuk nambah wawasan, misal baca thread tentang humanism, feminism, atau random yang penting informatif dan berguna. (Nyatanya, yaa 70% informatif, 30% receh & gosip. But life is about balance, ya gak? 😋)
Tahun ini tiga tahun sudah usia Twitterku yang hanya punya 4 followers itu. Being anonymous gives me freedom to tweet, like, and re-tweet anything I want. Tentu, kadang ada dikit sambat & julidnya tapi not that salty lah. Masih waras untuk tidak membuat onar & menghindari keributan.
Dan akhir-akhir ini I have been actively participating di beberapa diskusi dan bahkan memberikan sedikit bantuan berdasarkan pengalaman kuliah. Rasanya, aku puas & senang. I can share my knowledge with them. Isinya nggak ngalor ngidul lah. Bahkan karena akunku anonim, aku jadi lebih berhati-hati tapi kepedean ikut naik juga. Ibaratnya, serius tapi nggak perlu takut dijudge, toh nggak kenal satu sama lain.
Kalau ditanya, kenapa harus anonim? Kenapa nggak pake identitas asli?
Hmmm. Jawab jujur, jejak digital. Hahaha. Twitter itu kejam. Orang yang nggak suka atau misal (amit-amit) blunder, bisa dicari sampe akar-akarnya. Bukan berarti Facebook, Instagram, atau medsos lainnya nggak ninggalin jejak. Tapi, aku lebih memerhatikan apa yang aku posting di akun-akun yang terpajang nama asli. Aku pastinya juga turut memperhatikan apa yang kutulis dan kutuang di Twitter, tapi memang ada beberapa hal yang aku ceritakan sangat frontal tentang pengalaman-pengalaman pribadi.
Bisa dibilang aku jadikan dia my digital diary; bener-bener bisa posting satu thread panjang tengah malam hanya karena pikiran lagi berisik. Isinya hanya curahan hati yang terlalu jujur & no sensor, jadi memang nggak cocok untuk semua kalangan. Hahahaha.
Dan aku paham konsekuensi kalau ada yang baca thread itu, they would know my vulnerable side yang enggan aku perlihatkan ke orang banyak. Mereka bisa gunakan sebagai senjata, dan aku nggak mau hal itu terjadi kapanpun.
Biarkan dia berakhir sebagai thread yang berisi curahan hati yang membuat kewarasan sehari-hari tetap terjaga dengan baik.
Jadi, siapa yang sudah pernah menggunakan freedom dengan penuh tanggung jawab yang diberikan oleh kuasa anonimitas?
Comments
Post a Comment