Skip to main content

Perkara Genre Drama


Minat saya terhadap drama korea lagi anjlok-anjloknya. Terakhir drama yang saya tamatkan adalah Move to Heaven dan Penthouse season 2. Saya bertekad untuk menjadi tim on-going Vincenzo karena saya fans Jeon Yeo-bin & penulis dramanya, tapi kandas juga di episode 5. Nasib sama terjadi pada Sisyphus & Law School. Baru dua episode, buyar mereka dari list drama saya. 

Watchlist saya berderet-deret tiap hari makin banyak, tapi tak ada yang benar-benar dihabiskan. Terakhir saya mencoba Mouse (genre thriller yang saya selalu sukai) dan Mine. Sama saja. Keduanya malahan belum selesai satu episode sudah saya hapus. Saya pun tak paham apa yang buat saya memperlakukan para drama seperti itu. Ada banyak kemungkinan (saya suka buat kemungkinan-kemungkinan menyebalkan) seperti: alur cerita yang tak klik dan terlalu predictable, ekspektasi ketinggian, atau simply minat saya memang sudah tidak di drama seperti itu lagi. 

Padahal dipikir-pikir, ya, SMA saya itu gila drama sekali. Satu hari bisa empat sampai lima drama on-going saya nonton dan tamat. Semua teman tahu itu sampai saya dijuluki harddisk berjalan. Minta drama ini ada, drama itu pasti ada. Makanya sekarang menamatkan satu judul drama dengan perasaan puas itu jadi sesuatu yang langka. Terlebih kalau diselesaikan maraton hanya dalam beberapa hari. Bangganya bukan main. 

Move to Heaven jadi drama terakhir yang baru saya tamatkan. Berawal dari notifikasi Netflix mengingatkan bahwa ada seri originalnya yang segera tayang ditambah ada Lee Je-hoon yang berperan di sana, tak berpikir panjang saya pun menyalakan fitur "remind me". Di hari perilisan saya tak langsung nonton karena masih ada kesibukan lain. Ternyata drama ini cukup meledak dan banyak InstaStory membicarakan dan mengulas kehebatan drama ini. Makin penasaranlah saya. Untuk membuktikan rasa penasaran itu, saya pun meluangkan waktu untuk menyaksikan 10 episode Move to Heaven dalam waktu satu minggu. 

Move to Heaven adalah drama yang menceritakan sebuah tim yang bernama sama seperti judul drama ini, mereka menyebut diri mereka sebagai ‘trauma cleaners’. Sejujurnya pekerjaan ini nyata adanya di Korea Selatan karena cerita ini didasarkan pada esai milik Kim Sae-byul. Tugas trauma cleaners ini terlihat hanya sekadar ‘bersih-bersih’ barang orang yang sudah meninggal, tapi di balik itu banyak cerita yang sebenarnya ingin disampaikan tiap-tiap kematian yang diceritakan. Han Geu-ru (Tang Jun-sang), Yoon Na-mu (Hong Seung-hee) dan Cho Sang-gu (Lee Je-hoon) ialah salah tiga dari banyak karakter yang muncul di drama ini. 

Hubungan antara Han Geu-ru dan Cho Sang-gu adalah paman dan keponakan, sedangkan Yoon Na-mu dan Han Geu-ru adalah teman sejak masa kecil. Sebelumnya Han Geu-ru tinggal berdua bersama ayahnya dan bekerja bersama dalam tim Move to Heaven, namun karena suatu peristiwa, Han Geu-ru harus melanjutkan pekerjaan itu bersama pamannya yang tak lain tak bukan adalah mantan narapidana, Cho Sang-gu. Tiap episode menyajikan cerita kematian tiap karakter yang datang dari berbagai latar belakang. Namun ada satu hal yang selalu ada dalam cerita Move to Heaven; barang-barang yang mereka tinggalkan dan akan segera dibereskan selalu memiliki cerita pemiliknya. Seperti yang diucapkan Kim Sae-byul dalam bincang-bincang bersama sutradara dan karakter Cho Sang-gu dan Han Geu-ru dalam sebuah video, bahwa menjadi trauma cleaners juga menjadi penyalur cerita mendiang yang telah pergi, dan sayangnya banyak dari mereka menghadapi maut dalam sepi dan kesendirian. Di lain sisi, para tetangga (bahkan keluarga) biasanya akan menganggap itu sebagai ‘masalah yang merepotkan’. 

Kim Sae-byul berharap dengan Move to Heaven, masyarakat menjadi makin aware kalau sosok trauma cleaners itu ada dan mereka yang meninggal dalam keadaan yang tak menguntungkan itu juga manusia yang layak dan berhak diberi penghormatan dan rasa simpati. 

Setelah nonton Move to Heaven saya sepertinya menemukan alasan kenapa saya jadi kurang minat nonton drama, apalagi genre seperti thriller-crime yang saya pikir jadi favorit saya selalu. Penyebabnya adalah, selama ini saya salah memilih judul drama dengan genre yang saya pikir masih jadi kesukaan saya. Memang sudah waktunya saya beralih ke genre lain, dan kebetulan yang buat saya nyaman adalah genre family-drama yang heartwarming macam Move to Heaven dan Navillera (saya lagi nonton ini dan saya suka!). Terkadang manusia suka salah kaprah dengan pilihan. Ah, saya akan terus melakukan hal yang sama berulang kali karena saya suka! Namun di tengah jalan saat pilihan itu menjadi sesekali samar kita pun kerap berpikir kembali: Apakah ini memang pilihan yang saya jalani karena sudah terbiasa, bukan karena saya betul-betul menyukainya? 

Tapi selalu ada pengecualian. Selalu ada alasan bagi manusia. Dan itu terjadi pada saya dan pengecualian dengan genre lain, atau ke depannya saya akan balik lagi mencintai genre thriller-crime. Contohnya Penthouse, saya salah satu orang yang menunggu season 3 dengan menggebu-gebu. Genre drama ini sebenarnya tidak jelas, sih. Family-drama, iya. Thriller-crime, iya. Makjang, jya. Namun memang yang buat mata saya tidak lepas dari layar adalah kemampuan akting para pemainnya terutama Kim So Yeon. Saya tidak paham lagi itu dia bisa akting semenjengkelkan itu bagaimana caranya. Yang penting, drama ini sudah menyelamatkan saya dari 'rutinitas pilih watchlist dan drop mereka di awal-awal episode' yang sudah makin bikin saya bosan.

Comments

Popular posts from this blog

Lolos TPA PAPs UGM Skor 550+ dalam 1,5 Bulan

Jika kamu memutuskan untuk melanjutkan pendidikan tingkat magister dan doktoral di Universitas Gadjah Mada, maka kamu akan bertemu dengan sebuah persyaratan yaitu skor TPA. TPA atau Tes Potensi Akademik adalah sebuah tes yang dilakukan untuk menguji kemampuan seseorang yang biasanya dilihat dari empat sub tes: Verbal, Angka, Logika, Spasial/Gambar. Sepengetahuanku, TPA biasanya hanya akan terdiri dari sub-sub tes di atas. Terutama bagi TPA jenis tes PAPs (Potensi Akademik Pascasarjana). Berhubung TPA yang aku ikuti hanyalah PAPs maka aku akan lebih menjelaskan apa pun yang berhubungan dengannya. Kebetulan aku perlu skor dan sertifikat PAPs untuk memenuhi pendaftaran di gelombang 2 semester gasal 2021/2022. Jadi, aku akan membagikan pengalamanku mengikuti tes PAPs dalam masa-masa pendaftaran semester gasal saja, yap. Apa itu PAPs? PAPs adalah tes potensi akademik yang diperuntukkan bagi calon pendaftar program pascasarjana (magister dan doktoral) UGM dan pertama kali diluncurkan o...

Menjadi Orang Tua Suportif

 Nemu sebuah menfess di base Twitter. Basically ini chat dua orang yaitu anak & ibu tentang hasil pengumuman SNBP (atau SNMPTN, penyebutan sebelumnya).  Lihat menfess & chat ini aku jadi realize bahwa sebenarnya privilege paling sederhana yang mungkin bisa didapatkan oleh seorang anak yaitu "support orang tua atas keputusan anaknya". Aku yakin anak ini pasti sangat cemerlang di sekolah dan tau apa yang dia inginkan untuk masa depannya. Tapi melihat respon orang tuanya, aku sangat prihatin dan ikut tersayat hati.  Link Menfess Tapi memang itulah yang terjadi. Nggak jarang pula bahwa ada tipe orang tua yang merasa sebagai "sopir" dalam kehidupan anak-anaknya. Bahwa anak yang dihasilkan adalah suatu keharusan bagi mereka untuk menurut dan berbakti ke orang tua. Anak sering nggak diberi ruang untuk bertumbuh sesuai minat yang membuat dia nyaman. Kadang, anak malah nggak boleh membantah karena alasan materi alias orang tua yang bakalan bayarin sekolah, jadi anak ...

Semarak Lulus Jilid 2

Sudah lama tulisan ini mengendap di draft. Nggak dipungkiri sih, cukup banyak ketegangan dan perubahan-perubahan dalam hidup yang sebenarnya ingin diceritakan, tapi perlu niat yang besar. Seperti tulisanku yang menuliskan gimana 'semarak'nya kelulusan S1 awal 2021 lalu, kali ini aku ingin menorehkan kembali apa yang kualami untuk menambah gelar di belakang suku kata terakhir namaku. Proses untuk meraih gelar magister nggak mudah. Aku sudah pernah share di post sebelumnya kalau aku benar-benar under pressure untuk menuntaskan tesis sampai di titik I believe I don't want to write another academic writing forever. Ada perasaan trauma(?) atau semacam ingin kabur ketika harus kembali membuka laptop dan mengetikkan rumusan penelitian hingga tuntas. Tapi bagaimana bisa kabur, sekarang karierku harus berurusan dengan mereka... Yang tentu saja dengan penuh usaha akan aku lakukan, sembari berdamai dengan jurnal-jurnal dan buku-buku akademis itu. Juli 2023 aku lulus sidang tesis. Aku ...