Skip to main content

Semarak Lulus

Rasanya plong. Seneng banget. Alasannya adalah karena berhasil menambah gelar di belakang nama. S. I. Kom, sarjana ilmu komunikasi. Wow, masih agak nggak percaya. Karena rasanya kayak baru masuk kuliah jadi maba, tiba-tiba udah lulus aja?

Aku lulus di usia pembelajaran 3.5 tahun. Tergolong cepat, namun biasa saja. Di luar sana juga banyak yang bisa 3.5 tahun dan dapat nilai baik. Akan tetapi, aku ingin meng-highlight prosesnya yang nggak biasa-biasa aja. Sebagai angkatan 2021 yang melaksanakan proses magang, proposal, sampe tiga kali sidang semuanya online, rasanya nggak mudah. Meski ada kemudahan dikit sih, udah nggak perlu pake rok sama heels saat sidang.

Sidang magangku digelar 22 Oktober 2020. Lalu sidang proposal 2 November 2020. Revisi hanya 2 minggu dari tanggal sidang. Bisa dibilang semua proses dari bimbingan magang sampe proposal yang dimulai Agustus itu, pikiranku hanya melulu terputar soal stress dan lelahnya mengetik depan laptop. Nggak abis-abis rasanya. Tapi yasudahlah, berusaha legowo. Sudah resiko mau lulus cepet-cepet.

Pas masa revisi proposal tanggal 12 November itu, aku pikir sepertinya pengumpulan skripsi akan diundur, secara kita juga bimbingan mulai telat. Oh ternyata itu hanya angan saja. Keluar surat keputusan kalau terakhir mengumpulkan skripsi adalah tanggal 16 Desember. Dhuar. Tinggal 1 bulan lagi. Bab 4.2 sama sekali belum tersentuh padahal itu inti dari keseluruhan skripsi ini.

Rasanya hopeless. Apa bisa selesai tepat waktu? Di mana-mana sih orang bilang kerjain skripsi minimal 2-3 bulan. Terutama, aku juga kualitatif. Nyari referensi di mana keadaan begini? Muterlah otak ini sebelum diputer sama dosen pembimbing di bimbingan perdana skripsi.

Baru hangat file revisi proposal diunggah, besoknya sudah harus berhadapan dengan penyelesaian bab 4.1 yang sebenernya, udah dicicil sedikit di bulan Juni. Big thanks to my thesis advisor, Pak Nanang. Beliau nggak pernah lelah buat ingetin untuk curi waktu untuk buat 4.1 yang ternyata super tricky. Akhirnya bimbingan skripsi pertama berjalan cukup lancar dan sesuai ekspektasi.

Masuklah ke bab 4.2, mulai suka ngeluh sendiri dan tepuk jidat. Metode yang kupake itu mengharuskan data dianalisis menggunakan tabel. BENCI SEKALI KALO DIINGET-INGET LAGI. Tabelnya berantaaaaaakan setiap aku kerjain. Entah yang salah word-nya atau human-nya. Pokoknya udah males aja tapi mau nggak mau dalam keadaan sambat setengah mati, dilakukan juga.

Masuk analisis, aku banyak sekali dibantu oleh pembimbing yang super luar biasa. Pak Nanang sebagai pembimbing 1 dan Pak Fins sebagai pembimbing 2. Support yang diberikan itu, loh, bener-bener buat aku jadi nggak mau nyia-nyiain waktu selain kerja, kerja, kerja, skripsi. Satu bulan bukan waktu yang lama; nggak ada yang tau tiba-tiba udah abis aja bulan November. Sampai di satu titik, aku udah sampe drained dan too exhausted buat lanjut. Yang aku butuhin hanyalah tidur. Yep, jam tidurku sangat berantakan sejak kerja skripsi. Jam 2 baru merem, jam 7 udah melek lagi buat bimbingan yang kadang pagi. Aku bukan anak begadang yang bisa ngalong tiap malam. Jadilah diriku nggak terawat dengan baik.

Tapi semua itu nggak ada apa-apanya tentu saja. Nggak perlu dilebih-lebihkan juga, sih. Karena semuanya sepadan dengan seluruh diskusi berbobot yang diberikan oleh dosen pembimbing. I read a lot of references. Almost 50 or 60 journals and books in English. Some of them juga diberikan oleh para dosen pembimbing. Nggak bisa ngeluh lagi, dong? Ibaratnya udah disuapin, masa harus dikunyahin juga. Jadi aku pun sangat terbantu dan wawasanku terbuka lebar dengan masukan mereka. Pembahasanku juga sebenarnya kalau mau dicari referensinya gampang aja asal nggak malas. Hanya saja, semua ada batasnya. Ada hal yang aku kelewatan dan baiknya aku dapat insight itu dari dosen pembimbing. Bahkan sesuatu yang bukan hanya aku aplikasikan ke tumpukkan kertas penelitian, tapi juga ke kehidupanku.

Tema penelitianku merempet ke hegemoni dan gender. Aku ingat betul di suatu kesempatan bimbingan, Pak Fins–dosen yang juga lagi sibuk mengurus disertasi dan rela membagi waktunya demi meluluskan mahasiswanya yang kadang susah diatur ini– nyeletuk. “Kamu sudah paham nggak konsep hegemoni itu?”

Dengan sotoynya, aku menjawab. “Oh iya, Pak, hegemoni yang saya pakai ini maskulinitas Pak, memang mengambil konsep Gramsci, tapi saya rasa lebih menjelaskan hegemoni maskulinitas yang saya gunakan ini, sih, Pak.”

Suara Pak Fins tetap kalem dan santai. Beliau memang tidak pernah sekali pun menghakimi jawaban mahasiswanya. Ia membalas jawabanku, “Teori hegemoni milik Gramsci itu perlu kamu ketahui dulu, Gris. Itu yang penting. Ketika Connell (nama theorist hegemoni maskulinitas) saja menggunakan konsep hegemoni Gramsci, maka kamu harus tau akarnya juga. Kenapa dia pakai hegemoni itu? Apa alasannya dan hubungannya sama ketimpangan gender? Kalau kamu mau baca lebih, saya ada bukunya. Nanti saya kirimkan, ya.”

Kalau mau lebay, aku bakalan nangis mungkin. Udah sotoy, salah pula. Tapi untungnya dapat pembimbing sebaik beliau. Nggak menghakimi tapi memberikan solusi. Bersyukur sekali. Sama seperti Pak Nanang juga sejak zaman mata kuliah Riset. Dibombardir habis karena nggak paham teori dan fenomena iya, tapi dibeliin tahu goreng dan bela-belain sampe jam 6 sore di kampus. They are so sweet and loving; I can’t even thank them enough for everything they have done in my life.

Balada berkutat sampai sakit pinggang kejar deadline terus berlanjut. Kerja skripsi dari siang-malam. Cuman bisa berdoa bisa selesai tepat waktu. Pada akhirnya Tuhan jawab semua doa baik itu, diangkatNya seluruh kenikmatan kerja skripsi 1 bulan. Semua persyaratan terkumpul tepat waktu dan agak bisa leha-leha menunggu jadwal. Apalagi mendekati natal dan akhir tahun. Mau hip-hip hura-hura sejenak.

Diwanti-wanti tanggal 4 Januari jadwal sidang keluar, mata ini cuman bisa terpaku sama notifikasi. Muncul notifikasi dikit aja dari grup sidang langsung mencelos jantung ini. Eh, nyatanya namaku nggak tertampang di minggu pertama sidang. Sudah nggak sabaran anaknya buat sidang. Sabtu tanggal 9 Januari pas lagi mau makan, notifikasi itu masuk. Langsung nyebut lihat nama di hari Senin tanggal 11 Januari jam 10.30 pagi. Alhasil hari Minggu dipakai waktunya buat belajar seharian puol. Pokoknya harus bisa jawab pertanyaan saat sidang dan memohon agar semuanya lancar jaya.

Hari sidang tiba. Aku sudah ganti pakaian formal (tentu tanpa heels tapi masih pake rok yang kesempitan) dan dandan. Tes sinyal udah mantap, berkas skripsi yang dipakai jadi panduan sidang telah siap. Tinggal waktunya aja ketemu penguji. Akhirnya jam 10 pagi aku diuji oleh dua penguji yang tak kalah keren dalam menyempurnakan skripsi ini. Presentasi lancar, semua pertanyaan bisa dijawab meski tetap ada unsur ke-sotoy-an di sana. Revisi yang diberikan juga terbilang tidak sampai merombak habis. Pukul 11:11 tepat, aku dinyatakan lulus sidang skripsi dengan nilai memuaskan. Dipikiranku pokoknya hanya bisa mengucap syukur tiada henti. Sebelum keluar room meeting Zoom, aku diminta menyampaikan sepatah dua kata unuk pembimbing dan penguji. Hampir meleleh air mata saat ini, hahahaha. Terasa sangat emosional.

Makasih geng atas hadiahnya <3

Sidang berakhir bukan berarti leha-leha. Terkuak kembali sebuah pertanyaan yang pernah kuajukan di awal semester 7, dalam sebuah status Facebook yang terdengar receh namun membekas.

“Apakah selepas aku kuliah, dunia yang keras ini akan mampu menerima mantan mahasiswa yang dunianya penuh dengan idealisme tinggi dan ekspektasi berlebih?”

“Apakah semua yang kukerjakan dengan sepenuh hati selama enam semester ini bisa membantuku menjadi sarjana yang tak hanya bangga dengan gelar, namun bisa menjadi sarjana yang mengamalkan ilmu bagi orang banyak?”

Semarak lulus memang indah seperti story dan DM Instagram penuh ucapan dan selebrasi. Tapi aku yakin semua itu takkan bisa lepas dari semua jasa yang tak lelah mengingatkan. You know who you are: family, best friends, friends, and enemy. All of you who have crossed path with me, listened to my endless story about fearing not getting proper job with enough skill, and have given shoulders to this tiny monster to lean on. Satu semester terlihat singkat untuk menutup seluruh kenangan seru, haru, dan pilu di semester-semester sebelumnya. Akan tetapi, aku percaya di sinilah semuanya diuji; siapa yang benar-benar loyal dan tinggal menuju garis akhir bersama.

Selamat menjadi pengangguran bergelar. Mudah-mudahan ilmu yang sudah ditimba sekuat tenaga bisa diguyur ke orang lain.

Comments

Popular posts from this blog

Lolos TPA PAPs UGM Skor 550+ dalam 1,5 Bulan

Jika kamu memutuskan untuk melanjutkan pendidikan tingkat magister dan doktoral di Universitas Gadjah Mada, maka kamu akan bertemu dengan sebuah persyaratan yaitu skor TPA. TPA atau Tes Potensi Akademik adalah sebuah tes yang dilakukan untuk menguji kemampuan seseorang yang biasanya dilihat dari empat sub tes: Verbal, Angka, Logika, Spasial/Gambar. Sepengetahuanku, TPA biasanya hanya akan terdiri dari sub-sub tes di atas. Terutama bagi TPA jenis tes PAPs (Potensi Akademik Pascasarjana). Berhubung TPA yang aku ikuti hanyalah PAPs maka aku akan lebih menjelaskan apa pun yang berhubungan dengannya. Kebetulan aku perlu skor dan sertifikat PAPs untuk memenuhi pendaftaran di gelombang 2 semester gasal 2021/2022. Jadi, aku akan membagikan pengalamanku mengikuti tes PAPs dalam masa-masa pendaftaran semester gasal saja, yap. Apa itu PAPs? PAPs adalah tes potensi akademik yang diperuntukkan bagi calon pendaftar program pascasarjana (magister dan doktoral) UGM dan pertama kali diluncurkan o...

Menjadi Orang Tua Suportif

 Nemu sebuah menfess di base Twitter. Basically ini chat dua orang yaitu anak & ibu tentang hasil pengumuman SNBP (atau SNMPTN, penyebutan sebelumnya).  Lihat menfess & chat ini aku jadi realize bahwa sebenarnya privilege paling sederhana yang mungkin bisa didapatkan oleh seorang anak yaitu "support orang tua atas keputusan anaknya". Aku yakin anak ini pasti sangat cemerlang di sekolah dan tau apa yang dia inginkan untuk masa depannya. Tapi melihat respon orang tuanya, aku sangat prihatin dan ikut tersayat hati.  Link Menfess Tapi memang itulah yang terjadi. Nggak jarang pula bahwa ada tipe orang tua yang merasa sebagai "sopir" dalam kehidupan anak-anaknya. Bahwa anak yang dihasilkan adalah suatu keharusan bagi mereka untuk menurut dan berbakti ke orang tua. Anak sering nggak diberi ruang untuk bertumbuh sesuai minat yang membuat dia nyaman. Kadang, anak malah nggak boleh membantah karena alasan materi alias orang tua yang bakalan bayarin sekolah, jadi anak ...

Semarak Lulus Jilid 2

Sudah lama tulisan ini mengendap di draft. Nggak dipungkiri sih, cukup banyak ketegangan dan perubahan-perubahan dalam hidup yang sebenarnya ingin diceritakan, tapi perlu niat yang besar. Seperti tulisanku yang menuliskan gimana 'semarak'nya kelulusan S1 awal 2021 lalu, kali ini aku ingin menorehkan kembali apa yang kualami untuk menambah gelar di belakang suku kata terakhir namaku. Proses untuk meraih gelar magister nggak mudah. Aku sudah pernah share di post sebelumnya kalau aku benar-benar under pressure untuk menuntaskan tesis sampai di titik I believe I don't want to write another academic writing forever. Ada perasaan trauma(?) atau semacam ingin kabur ketika harus kembali membuka laptop dan mengetikkan rumusan penelitian hingga tuntas. Tapi bagaimana bisa kabur, sekarang karierku harus berurusan dengan mereka... Yang tentu saja dengan penuh usaha akan aku lakukan, sembari berdamai dengan jurnal-jurnal dan buku-buku akademis itu. Juli 2023 aku lulus sidang tesis. Aku ...