Skip to main content

Selamat Ulang Tahun, Vincentius

12 Februari 2020 lalu, kamu bilang: "Nanti ke Malang saja mi untuk acara valentine. Uang dinnernya dipake buat itu. Ya, memang nda akan semurah dinner yang 100-200, tapi setidaknya ini seharian jadi lebih berkesan."

Beberapa jam kemudian, aku sudah berada di laman pembayaran tiket kereta ekonomi Surabaya-Malang jam 5 pagi. "Serius ini toh? Saya bayarmi sekarang."

Kamu mengangguk dan pembayaran selesai. Tanggal 22 Februari kita memulai perjalanan sangat tidak terencana itu, dengan bab 2 riset yang terhuyung-huyung di folder menunggu diselesaikan. 

Itu pengalaman kamu pertama kalinya naik kereta api. Dua matamu masih memanggil untuk tertutup rapat. Aku paham rasanya. Berangkat jam 4 dari rumah, siapa yang tidak ngantuk, bukan? Tapi itulah kamu, Vincentius Indra Setiadi yang suka tidak terencana. Bahkan dua bulan sebelum perjalan ke Malang kala itu, saat aku lagi homesick mengerikan, tercetuslah ide gila ke Tretes jam 4 sore. Tidak ada persiapan apa-apa, hanya doa motor tidak mogok menanjak tikungan demi tikungan tajam dan bisa makan sate bersama wedang dengan selamat. 

Malang hujan saat kita tiba. Tapi kamu masih sangat excited. Getaran yang kamu rasakan saat roda kereta melesat di atas rel menyuktikkan jutaan endorphin ke desiran nadimu. Aku tahu rasa itu, karena masih berbekas di ingatanku pada saat aku ke Yogyakarta 2018 lalu. Rasa yang bergejolak indah hingga badai hujan takkan menghentikkannya. 

Meski Malang hujan, kamu dengan cermat menyusun ide perjalanan. Yang aku lakukan hanya jadi juru baca maps (re: tidak becus) karena kita tersesat berulang kali. Tapi kamu hanya tersenyum. "Tidak apa-apaji. Inimi yang buat seru."

Icipan demi icipan memuaskan dahaga dan lapar kita akan kota Malang. Dengan motor sewaan seharga 80 ribu + bensin 20 ribu, menyusuri kota indah itu tidaklah sulit. Ada semangkok Bakso Presiden, seporsi bakso bakar, dan soto lombok yang hangat turut bersama kita. Semuanya itu berkatmu dan aku merasa teramat bahagia dengan semua itu. 

Tidak ada yang sangka Maret 2020 akhirnya pandemik datang. Liburan yang direncanakan selanjutnya terpaksa diundur sampai waktu yang tak ditentukan. Aku tahu kamu sedih. Kamu pun tahu aku juga merasakan hal yang sama. Tapi kamu adalah kamu. Si cuek yang memegang prinsip "Life Goes On" tingkat dewa.

"Keadaan begini, mau bagaimana. Masih ada besok-besok. Tenang," katanya dengan santai di saat aku sudah kalang kabut merasa stress sendiri."

Dan waktu terus bergulir. Frekuensi kita bepergian nyaris nol. Mungkin sesekali kita masih melakukan tradisi keliling kota sampai buat aku paham beberapa nama jalan di Surabaya. Tapi kali ini sedikit berbeda dengan masker dan hand sanitizer siaga di tas. 

Yang pasti kutahu, meskipun keadaan berubah hingga rasanya kepala di bawah dan kaki di atas, kesabaranmu tak pernah absen menenangkan otak panasku. Hingga sekali lagi, aku bersyukur menjadi bagian dari hidupmu. Tiada ketentraman yang lebih tenang daripada bersamamu. Tiada kata lebih lembut daripada suaramu yang menyebutkannya. 

Aku bahagia karenamu. Dan semoga kamu bahagia juga denganku. 

Aku berusaha merangkai kata yang indah, merekoleksi tiap celah kenangan serta doa-doa umur panjang di hari yang spesial ini. Terima kasih telah memperbolehkan kita sama-sama merayakan 27 Desember dengan semarak, sayang. Dua puluh tiga tahun kehidupan dan kamu memilih dua tahun terakhir ini bermakna dengan susunan liburan tak terencana dan kado spesial lain yang aku tahu kamu berusaha membuatnya terpatri di memori. Sungguh, kamu luar bisa, Vincentius. Kamu bernilai tiada tara. 

Comments

Popular posts from this blog

Overcame My Biggest Fear

Source:  youthfmay on Twitter Every time I look at this beautiful fan art of the iconic scene from My Liberation Notes , the heavy burden I’ve been carrying painfully for the past two years feels like it’s slowly fading. I wonder—when will my time come? Or… will it ever come? Sometimes, I look at myself in the mirror and see someone hopelessly tired. Just like Mijeong, commuting to work with no reason other than simply showing up and getting through the day, I realize I have something in common with her. Something good will come today. Maybe I should believe that with my whole heart—because Mijeong eventually gets it. And maybe… I will too, someday. My journey of being truthful to myself, and becoming an open book to my friends, family, and colleagues, has never been an easy path. That’s one of the reasons I started this blog five years ago, when I realized I needed a space to pour out all my unspoken feelings. I don’t share much of my stories here, since it takes time and a bit ...

Lolos TPA PAPs UGM Skor 550+ dalam 1,5 Bulan

Jika kamu memutuskan untuk melanjutkan pendidikan tingkat magister dan doktoral di Universitas Gadjah Mada, maka kamu akan bertemu dengan sebuah persyaratan yaitu skor TPA. TPA atau Tes Potensi Akademik adalah sebuah tes yang dilakukan untuk menguji kemampuan seseorang yang biasanya dilihat dari empat sub tes: Verbal, Angka, Logika, Spasial/Gambar. Sepengetahuanku, TPA biasanya hanya akan terdiri dari sub-sub tes di atas. Terutama bagi TPA jenis tes PAPs (Potensi Akademik Pascasarjana). Berhubung TPA yang aku ikuti hanyalah PAPs maka aku akan lebih menjelaskan apa pun yang berhubungan dengannya. Kebetulan aku perlu skor dan sertifikat PAPs untuk memenuhi pendaftaran di gelombang 2 semester gasal 2021/2022. Jadi, aku akan membagikan pengalamanku mengikuti tes PAPs dalam masa-masa pendaftaran semester gasal saja, yap. Apa itu PAPs? PAPs adalah tes potensi akademik yang diperuntukkan bagi calon pendaftar program pascasarjana (magister dan doktoral) UGM dan pertama kali diluncurkan o...

A reminder on Facebook, 2013: peristiwa hidup lain

a reminder on Facebook, 2013: peristiwa hidup lain Bab I. Cerita Kehilangan 1 Suatu waktu di tahun 2013, ketika aku sedang sibuk-sibuknya menjahit di kelas Prakarya, aku tiba-tiba dipanggil oleh salah seorang guru. Ia memintaku ke gerbang depan karena tanteku beserta suaminya datang menjemput. Hal yang sangat aneh dan jarang terjadi, sebab hari-hari aku pulang tidak pernah dijemput melainkan naik angkot. Aku menyudahi jahitan dan bergegas keluar. Aku menemui mereka yang berdiri tidak jauh dari gerbang menuju arah koperasi. Di situ wajah mereka sudah agak sedikit kelabu, perasaanku menjadi tidak enak. Ya benar saja, kalimat pertama yang keluar dari bibirnya adalah, 'Angku (om)-mu meninggal. Kemas tasmu dan kita pulang.' Seolah-olah langit runtuh di hadapanku, aku mencerna segala kata yang diucapkan. Angku? Angku yang mana? Aku memang punya dua Angku dan aku baru bertemu keduanya beberapa hari lalu. Mana mungkin tiba-tiba meninggal seperti itu? Aku lantas bertanya, 'Angku sia...