Landmark Kota Surabaya Credit: Photo by Rasyid Maulana on Unsplash |
Yap, tepat pada tanggal 27 Juli 2017 lalu, aku pertama kalinya
menginjakkan kaki di Surabaya: sebuah kota yang bisa kudengar ceritanya melalui
mulut sepupu dan kerabat. Nggak pernah kebayang sebelumnya, aku bakalan bisa melanjutkan
studi di kota segede ini.
Lahir dan besar di sebuah daerah yang bisa dibilang tidak
terlalu besar dan tidak terlalu kecil ini, aku jadi agak was-was dan
bertanya-tanya pada diri sendiri. Surabaya
itu apakah seperti yang dikatakan kerabat? Seseru apa sih kota yang
disebut-sebut kota besar kedua setelah Jakarta? Apa aku bisa survive di sana?
Dua minggu sebelum keberangkatan, aku udah sibuk ngurus
perlengkapan yang mau dibawa. Beli tiket
pesawat, beli koper gede, nge-list
daftar barang yang mau dibawa dan berakhir sedikit adu mulut dengan Mami karena
mau barang semua barang (yang later
kuakui emang buat apa bawa barang sebanyak itu? hahahaha, sorry, mom!).
Satu hal yang aku notice
saat mau berangkat itu, aku nggak punya banyak baju. Mungkin baju rumah
beberapa juga udah pada bolong-bolong, plus baju buat pergi-pergi juga itu-itu
terus. Yaudahlah nggak papa. Pake aja yang ada dulu di sana.
Eh ternyata Mami mengeluarkan beberapa piyama yang
sepengetahuanku dibelinya saat aku SMP. Mami bilang jangan dipake, disimpen
aja. Jadilah aku ke Surabaya, membawa empat pasang piyama yang baru, tapi nggak
baru-baru amat. Kaos oblong bolong semua ditinggalkan di Kendari, jadi kain lap
pastinya.
Saat keberangkatan pun tiba. Aku jadi melow sendiri mau
ninggalin Mami dan adik di rumah berdua doang. Apalagi aku bakalan secara resmi
memulai kesendirian di kos-kosan berukuran 2x4 meter, nyari makan sendiri,
nyuci sendiri, bersih-bersih sendiri. Semuanya sendiri. Tapi aku nggak sampe
berlarut-larut juga sedihnya, karena bulan Desember rencana balik karena mau
ngambil ijazah.
Karena pengen naik Batik Air (nyaman plus terjangkau) dan
cuman ada pesawat pagi, akhirnya ke bandara sendiri subuh-subuh dibekali satu
bungkus roti cokelat buat sarapan. Total perjalanan tiga jam setengah, dengan
durasi satu jam 40 menit transit di Bandara Sultan Hassanudin, Makassar. Nggak
lupa ngasih info Mami dan kakak yang bakalan jemput di Bandara Juanda selama
transit.
Di pesawat aku kebanyakan pake waktu buat tidur sama sesekali
ngintip drakor. Tapi ada kejadian lucu sih sebelum landing, tepatnya 15 menit sebelumnya. Aku tiba-tiba kebelet pipis dan
udah nggak dibolehin ke toilet pesawat. Akhirnya nahan pipis deh sampe landing sempurna. Aku udah nggak tahan
lagi, pokoknya kudu pipis saat itu juga. Aku nanya ke pramugari apa boleh dipakai
toiletnya, tapi pramugrarinya bilang udah nggak bisa dan disaranin ke toilet
bandara aja. Padahal saat itu rasanya udah di ujung banget dan dikit lagi
bakalan ngompol rasanya.
Setelah belalai pesawat udah boleh dibuka, aku langsung cabut
cepet-cepet keluar narik koper kecil yang berada di kabin. Aku udah nggak ingat
siapa aja yang aku sambar pas mau keluar, intinya aku mau ke toilet saat itu
juga. Selama di belalai sampai koridor bandara menuju tempat klaim bagasi, aku
lari sekencang-kencangnya. Akhirnya nemu toilet terdekat yang PUJI TUHAN sepi.
Saat itu udah nggak pikir barang-barang mau ditaro di mana yang berakhir dititipkan
ke pengguna toilet lain. Padahal sebelum berangkat Mami udah sempet pesan
jangan sekali-kali nitip barang ke orang asing. Tapi, ya, mana sempat keburu
merembes.
Selepas drama kebelet-hampir-ngompol kelar juga, aku pun
langsung ngambil troli dan ngeklaim bagasi. Semuanya lengkap dan dalam kondisi
aman. Di luar, kakak dan temannya udah nungguin buat jemput aku. Dan akhirnya,
setelah 17 tahun hidup bersama orang tua, petualanganku untuk belajar dan hidup
merantau secara resmi dimulai.
Kena Guncangan
Budaya 1: Fashion Taste
Aku sampe di Surabaya hari Jumat, dengan asumsi Sabtu-Minggu
bakalan dipake beres-beres kos. Senin langsung ke kampus buat ambil atribut
Pekan Pengenalan Kampus (PPK). Dari bandara aku drop barang-barang di kosan, sambil unpacking juga. Impresi awalku dengan kos yang dicariin kakak cukup
oke. Kebetulan dapat perabot kamar baru juga karena abis renovasi.
Setelah kelar nyusun barang dikit-dikit, aku langsung diajak
ke Galaxy Mall yang katanya mall kece di Surabaya Timur. Yaudah nurut aja dan
langsung pakai baju yang ada; blouse batik yang dibeli di Tanah Abang pas tahun
2016 plus celana kulot.
Kakak kaget bukan main setelah liat penampilanku. Dengan
tertawa, ia nyeletuk:
“Ganti bajumu itu, di sini ndak ada orang pakai baju seperti
itu.”
Aku kaget dong, maksudnya apa coba? Menurutku ini udah look paling nyaman dan aman buat dipake
untuk ke mall.
Di sinilah kemudian aku lupa kalau aku sudah di Surabaya,
kota metropolitan yang bergerak cepat termasuk sense berpakaiannya juga. Kakak bilang, bajuku itu sangat nggak
cocok dipake ke mall. Bingung jadinya. Emang
kayak gimana sih orang Surabaya pakai baju ke mall?
Atas rekomendasi kakak, aku pun disuruh mengenakan setelah
baju kekinian yang ia barusan beli sebagai oleh-oleh dari Korea. Jujur aku
nggak nyaman karena setelan itu membuatku harus mengekspos sedikit paha, yang
menurutku nggak etis dipake di tempat umum. Tapi karena percaya aja sama omongannya,
kita pun berangkat ke Galaxy Mall naik Grab.
Dan voila~ setelah
nyampe di sana, mataku langsung tertuju ke pengunjung yang bener-bener well-dressed dalam artian pake
serangkaian blouse, kaos, atau dress yang cantik banget. Paham deh
akhirnya kenapa kudu ganti dresscode awalku
tsaat itu karena bakalan berakhir jadi bahan tontonan orang.
Kira-kira beginilah fesyen mereka kalau ke mall. Ala-ala OOTD selebgram Source: Instagram @michimomo |
Sejak saat itu, aku akhirnya jadi lebih memahami baju seperti
apa aja sih yang harus dipakai (menyesuaikan tempat dan occasion juga tentunya). Kurang lebih beberapa bulan di Surabaya
pun, memilih kaos dan celana jins dengan sepatu/flatshoes bisa jadi dresscode
paling aman dan bebas dari lirikan aneh.
Kena
Guncangan Budaya 2: Makanan!
Lepas dari masalah fashion
taste, aku pun dihadapi dengan guncangan baru yang menurutku sangat
krusial, yaitu food taste. Yup, tiap
daerah pasti punya cita rasa yang berbeda, bukan? Oleh sebab itu sebagai orang Sulawesi
tulen, nggak heran kalau aku bakalan suka makanan pedas dan gurih.
Di Jawa Timur, impresi pertamaku pada makanannya yaitu okelah, masih pas di lidah. Makanan
pertama yang kusantap setiba di Surabaya kala itu pentol aka bakso dikasih
bumbu kacang gitu. Di Kendari, jajanan kayak gitu tuh, nggak diplastikin,
baksonya ada yang dikukus atau goreng lalu disantap pakai kecap dan sambel.
Kalau pake bumbu kacang kita nyebutnya sebagai siomay atau batagor tapi dijual
per tusuk 1000 perak.
Daaaaan….. Ketahuanlah bahwa cara makan pentol di Surabaya
tuh ada dua cara: pakai tusuk sate kalau mau higienis dan dimakan langsung dari
plastiknya. Hah? Gimana tuh maksudnya?
Jadi, pentol dan bumbu kacangnya dimasukkin dalam plastik
kecil gitu lalu bagian atas plastik diikat. Nah, kalau mau dimakan, tinggal
gigit aja bagian bawah plastik sampe lubangnya pas buat pentolnya keluar. Simple, kan?
Eits, tapi bagi orang awam kayak aku gini, aku shock berat lihatnya. Pertama, itu
plastik isi pentol nggak ada yang paham kebersihannya, tapi kok dilihat-lihat rasanya
nikmad banget orang-orang makannya. Ini masih jadi misteri, sih. Awal-awal, aku
masih merasa jijik untuk makan dari plastik tapi lama-kelamaan karena
kepraktisannya, aku akhirnya pake cara ini juga, hehehe.
Dari caranya yang cukup ‘nggak biasa’ ini, pentol bagiku
masih savory dan cocok buat jajan
sehari-hari. Selain itu aku juga ketemu jajanan batagor yang berbeda jauh dari
yang ada di Kendari (dari segi penyajian dan bentuknya). Rasanya juga gurih dan
pedas, masih cocok di lidahku.
Menjelang pindah ke Surabaya, aku mewanti-wanti diri sendiri
karena melihat pengalaman teman-teman yang udah merantau duluan ke Jawa pas
SMA, makanan Jawa itu identik dengan rasa manis. Misalkan, makan sayur tumis,
mereka akan pakai gula sebagai penambah rasa. Untuk orang yang hanya tau gula
dipake untuk makanan manis seperti kue, aku udah males duluan pas dengerin.
Nyatanya, di Surabaya tuh makanannya lebih fun dan banyak variasi gitu. Kebetulan
deket kos ada banyak penjual makanan, mulai nasi goreng gerobak, bakso,
penyetan, dan sate ayam. Karena masih takut-takut, aku nyobain penyetan ayam
dulu merely karena ada sambelnya.
Menurutku, misalnya ayamnya tiba-tiba berasa manis, ada sambel yang bisa
menyelematkan taste buds.
Secubit ayam dan sambel masuk ke dalam mulut. Uhm… Rasanya…
Enak juga. Ayam gorengnya itu diungkep sama bumbu-bumbu gitu dan jatuhnya di
lidahku terasa gurih. Sambelnya juga pedes banget. Pokoknya ekspektasiku yang
naif tentang makanan manis kayaknya nggak akan aku dapetin di sini. Hari-hariku
selanjutnya kutebak udah bisa berjalan dengan lancar.
Di kantin kampus juga makanannya lumayan enak dan cocok di
lidah. Aku juga bertemu banyak penyebutan makanan yang cukup berbeda.
Contohnya, dadar jagung. Pertama kali aku pesen ini di kantin, aku nyebutnya ‘perkedel
jagung’ karena sebutannya begitu di Kendari. Mbak yang melayaniku saat itu
bingung dan malah balik nanya.
“Jadi mau perkedel atau dadar jagung?”
Dalam posisi lagi sendiri dan nggak ada yang bisa jelasin
perbedaan antara dua lauk itu apa plus malu bertanya, aku akhirnya milih
kedua-duanya. Sesat di jalan pada akhirnya.
Setelah kuceritakan perkara ini ke kakak, ketahuan deh kalau
di Surabaya mereka nggak menyebut makanan yang dibuat dari jagung serut dan
tepung itu dengan sebutan ‘perkedel jagung’ melainkan dengan ‘dadar jagung’.
Perkedel yang mereka tau cuman satu, yaitu perkedel kentang.
Kesalahpahaman penyebutan inilah yang bikin aku kadang-kadang
konsul dulu ke teman-teman. Atau, kalau aku lagi mau pesen makanan dan di menu
ada nama makanan yang terasa asing, pasti buru-buru langsung kutanyakan ke
mereka demi menghindari bayar sesuatu yang nggak perlu macam perkara perkedel
tadi.
Lambat laun, aku udah terbiasa dengan sebutan jenis makanan
di Surabaya. Misalkan kates untuk pepaya, ikan untuk sebutan lauk (apa saja),
oyong untuk gambas, manisa untuk labu siam, dan masih banyak lagi.
Balik ke masalah taste,
makanan-makanan yang aku santap semuanya hampir nggak ada masalah, sih, selama
awal-awal di Surabaya. Terutama, ketika aku akhirnya menemukan sebuah sajian
khas berbahan petis, tahu, dan telor. Yup, apalagi kalau bukan sang TAHU TELOR!
Tahu telor terlezat sepanjang masa. Nggak ada tandingan. Titik. |
Mendeskripsikan tahu telor, panganan satu ini merupakan
satu-satunya sweet escape kalau lagi
bingung mau makan apa. Gurihnya petis yang disiramkan ke atas tahu dan telor
yang digoreng bersama serta kentang lembut yang menggunggah selera. Rasanya?
Makan sambil netesin air mata. Lebay? Biarin! Tapi begitulah aku menikmati keajaiban
makanan bernama tahu telor ini. Nggak ada makanan khas Surabaya yang seenak dia,
meski emang kudu pinter-pinter nyari abang yang masaknya enak.
Menemukan makanan kesukaan di Surabaya pada akhirnya
membuatku semakin percaya bahwa makanan di Jawa Timur itu sedikit berbeda
dengan regional Jawa lain yang katanya lebih manis. Namun nggak menutup
kemungkinan tetap akan ada masakan dengan cita rasa manis, ya!
Buktinya, aku nemuin beberapa sajian yang manis dan menurutku
cukup aneh. Sebut saja dia gado-gado. Percayalah kawan, aku adalah pecinta
gado-gado kalau makannya di Kendari. Kenapa? Tiga kali aku beli gado-gado di
tempat yang berbeda, tiga kali pula aku makan mereka seperti makan gula. Entah
kenapa rasa bumbu kacangnya jatuhnya manis banget dan buat enek. Dua-tiga
suapan masih bolehlah, tapi begitu nyampe suapan selanjutnya, udahlah langsung
buru-buru beli nasi goreng gerobak aja, deh.
Sejak saat itu aku udah nggak pernah lagi mau makan gado-gado
hingga saat ini. Bukan hanya gado-gado,
aku juga merasa cukup sulit mendapatkan Chinese
food yang sesuai selera. Pertama, cara makannya aja udah beda. Di Surabaya,
nggak akan ada jeruk nipis atau lombok kuning sebagai teman makan. Kamu akan
disodori cabe hijau utuh doang sama acar. Udah, sebatas itu.
Kedua, karakteristik Chinese
food dengan pork di Surabaya itu
tuh, ada casiu atau babi merah. Nah,
letak permasalahannya ada di situ. Babi merah yang selama ini kusantap WAJIB
hukumnya gurih apalagi kalau sebagai topping
mie pangsit. Sayangnya, beberapa tempat yang kudatangi, casiu-nya terasa manis gitu, yang ternyata karena ada pemakaian
madu saat dimasak. Jadi, aku kudu hati-hati banget saat memilih rumah makan
untuk makanan jenis ini. Sejauh ini sih yang cocok di lidahku baru dua tempat.
Satunya lumayan dekat dengan rumah, satunya lagi di Surabaya Barat nan jauh di
sana. Selain emang bener-bener khas Sulawesi rasanya, mereka nggak bakalan
merasa aneh kalau aku minta jeruk nipis dan lombok kuning karena mereka
menyediakannya secara gratis.
Kalau lagi pengen makan makanan khas Sulawesi, di Surabaya
nggak begitu sulit, kok, untuk menemukannya. Satu tahun tinggal di Surabaya,
aku nemuin Coto Makassar yang rasanya mirip sama yang ada di Kendari beserta
buras dan es sirup DHT! Kelezatan tiada tara emang. Tapi sayangnya belum pernah
ketemu yang jual Sinonggi aka sagu khas Kendari. Ada sih yang jual Kapurung
tapi menurutku rasanya cukup beda, terutama teman makan Sinonggi valid versi aku itu harus pakai Sup Ikan
Pallumara dengan ikan Sunu/Kerapu. Deliciously
daebak *air liur netes*.
Ya, meski aku banyak menemukan beragam variasi taste mulai dari yang cocok sampe nggak
cocok, aku bersyukur karena makanannya yang SANGAT RAMAH DI KANTONG alias
MURAH! Bayangkan, aku bisa makan nasi campur ayam komplit dengan harga 13-15
ribu doang. Mau agak hedon nambah lauk? Paling-paling abis 20 ribu. Ini gokil
banget, sih. Pokoknya kalau bahas makanan di Surabaya bakalan jarang sambat (mengeluh).
Hampir tiap hari juga di sini aku makan ayam karena murah
banget. Berbanding terbalik kalau mau makan ikan air asin, agak susah ditemui
dan sekalinya ada pasti mahal. Jadi kalau lagi pengen banget makan ikan, mentok
makan mujair, lele, atau yang mewah dikit gurame (atau dipanggil makan-makan
sama keluarga di resto seafood mahal
HOHOHO).
Kena
Guncangan Budaya 3: KOTA RAPI NAN ASRI
Surabaya dengan prestasi bejibun dari Bu Risma aka
Walikotanya nggak usah ditanyakan lagi, sih, ya. Media coverage-nya itu luar biasa dan nggak heran aku kebanyakan
tau sisi Surabaya dari TV. Paling membekas di ingatan itu pas Bu Risma ngamuk
di Taman Bungkul gara-gara tanamannya rusak diinjak-injak warga. Sampe-sampe,
beberapa waktu sebelum berangkat aku searching
di Google Maps letak taman ini.
Betapa senangnya hati ternyata dia berada sangat dekat dengan kosan aku (yang
berakhir tak pernah kukunjungi karena mager jalan kaki, dasar aku).
Pikirku, taman yang terkenal di Surabaya itu hanya Taman
Bungkul. Aku salah besar rupanya. Sejauh mata memandang saat perjalanan dari
bandara, aku menemukan banyak sekali taman yang berukuran lebih kecil dari
Taman Bungkul, sangat hijau dan tertata rapi. Oh ya, selain taman, aku juga
terkesima sama tata letak kota yang RAPI pake BANGET. Denger-denger Bu Risma
emang sangat concern dengan masalah ini. Jadi nggak perlu heran
lagi kalau di mana-mana ada pedestarian atau akses pejalan kaki yang sangat
luas dan nyaman.
Di Surabaya juga nggak perlu bertanya-tanya kalau ada mobil
truk berisikan air dan ada petugas yang mulai siram-siram tanaman tiap
sore/pagi hari. Yup, kalau udah buat sebagus ini berarti sekarang harus dirawat
dong? Dan Bu Risma sekali lagi membuktikan kehebatannya. Semua hal yang
dibuatnya selalu dijaga dengan baik. Sering kali aku juga nyaksiin petugas
bahu-membahu melakukan pemerajaan. Bukan hanya tanaman saja lho, bahkan jalan
raya yang aspalnya bolong-bolong pun akan segera dilakukan perbaikan.
Aku pengen cerita dikit tentang jalan aspal yang berlobang.
Aku lupa tepatnya kapan, kira-kira Februari/Maret lalu aku berniat ke Galaxy Mall
melewat jalan DHI I. Jalan raya ini emang sering dijadikan jalan pintas banyak
orang, meski di kiri kanannya ada perumahan gitu.
Karena lagi musim hujan, banyak jalanan yang bolong.
Masalahnya, bolongnya itu, lho, gede-gede banget. Kalau naik motor mungkin
masih bisa ngeliuk-liuk menghindari lobang. Kalau mobil? Kayaknya mustahil buat
dihindari karena lobangnya itu menutupi ¾ jalan.
Sebagai tindakan preventif, aku pun menelepon call center 112, yang sekali lagi
merupakan kemudahan lain yang bisa digunakan oleh seluruh warga sebagai sarana
pelaporan. Aku melaporkan keadaan yang terjadi dan nggak nyangka operatornya
ramaaaahhhh banget! Pokoknya kira-kira 10 menit aku jelasin keadaan jalan dan
nyebutin lokasi lengkapnya laporanku udah masuk daftar proses. Akan tetapi di
satu sisi aku berpikir, apa iya laporanku
ini bakalan diproses cepat?
Laporan itu kuajukan hari Jumat. Sabtu-Minggu hitungannya
akhir pekan jadi nggak mungkin orang turun bekerja. Okelah, jadi kutunggu
sampai hari senin.
Tau apa yang terjadi? Hari Senin sore, hanya selang tiga hari
dari laporanku, SELURUH jalan DHI I diaspal kembali. Seluruh lobang ditambal,
mau yang kecil dan besar. Pas aku lewat sana, sumpah aku terharu banget karena
keluhanku ini dianggap serius karena ada belasan pekerja yang melakukan proses
pengaspalan dengan cepat dan tanggap. Lobang yang gede itu juga ditambal
sempurna. Keesokan harinya, seluruh aspal sudah kering dan jalanan mulus
kembali. Pengendara aman sentosa.
TADAAA~ langsung beres hanya dalam waktu tiga hari! |
Nggak salah klaim emang, dari segi tata kota, Surabaya layak
disebut terbaik. Meski nggak menutup kemungkinan ada hal negatif yang juga aku
cukup notice, seperti tukang parkir
yang ngaku-ngaku resmi tapi ternyata bodong. Kerap kali aku dipaksa bayar
parkir di tempat-tempat rekreasi umum. Tapi yasudahlah, itu hanya segelintir
hal negatif yang kutemui dan kurasa akan tertutupi dengan seluruh kelebihan yang
masih jauh lebih banyak.
Tiga tahun aku di Surabaya, aku paling senang tiap kali ada
kesempatan ke taman umum. Aku dan pacar bahkan menjadikannya tempat ngedate kesukaaan, terutama di Taman
Apsari, Taman Harmoni, Taman Korea, dan Taman Flora. Taman-taman di Surabaya
ini friendly dengan pengunjung; ada
banyak tempat duduk, ayunan untuk orang dewasa (favorite aku wkwk), dan toilet
yang cukup bersih. Cuman karena sekarang lagi pandemi gini, ritual pacaran di
taman lagi nggak bisa dilaksanakan. Aku kanget banget sih apalagi sama Taman
Harmoni. Tempat pertama ngedate bareng
pacar ditemani bunga matahari plus dekat dari rumah. HEHEHE.
Bonus foto candid (calon) pacar pas dating pertama di Taman Harmoni HEHE |
Konklusi
Tiga tahun di Surabaya. Hanya satu yang kata yang bisa
merepresentasikan semua memori yang ada: BERMAKNA. Surabaya adalah tempat
pertamaku melewati masa remaja tanggung ke tahap dewasa, juga tempatku meniti dan
mencari makna kehidupan. Terlebih orang-orangnya pula, sambutan dan kerelaan
mengajarkan berbagai kebiasaan dan budaya baru untukku sangatlah bermanfaat.
Entah kamu yang pernah singgah sebagai teman, sahabat, tetangga, mari temani
aku lebih lama lagi di kota Pahlawan ini. Tanpa rasa menerima kalian, aku yakin
takkan bisa survive di sini terutama
di tahun pertamaku!
Dan kuucapkan selamat datang tahun-tahun selanjutnya
bersamaku, Surabaya. Meski hingga detik ini aku bahkan nggak tahu waktu akan
membawaku ke destinasi mana, aku akan tetap percaya dirimu sebagai tempat untuk
menghabiskan hari dengan karya di kemudian hari. Dan selamanya, Surabaya pasti
akan selalu menempati ruang di hatiku. Terus kejutkan aku dengan rahasia yang
belum kujumpai, ya!
Tertanda,
Dari anak rantau yang telah kau ajak kerasan bersama, G.
Comments
Post a Comment