Skip to main content

Tiga Tahun Tinggal di Surabaya, Apa Serunya?

Landmark Kota Surabaya
Credit: Photo by Rasyid Maulana on Unsplash
Siapa sangka kalau besok genap sudah tiga tahun perantauan ini?

Yap, tepat pada tanggal 27 Juli 2017 lalu, aku pertama kalinya menginjakkan kaki di Surabaya: sebuah kota yang bisa kudengar ceritanya melalui mulut sepupu dan kerabat. Nggak pernah kebayang sebelumnya, aku bakalan bisa melanjutkan studi di kota segede ini.

Lahir dan besar di sebuah daerah yang bisa dibilang tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil ini, aku jadi agak was-was dan bertanya-tanya pada diri sendiri. Surabaya itu apakah seperti yang dikatakan kerabat? Seseru apa sih kota yang disebut-sebut kota besar kedua setelah Jakarta? Apa aku bisa survive di sana?

Dua minggu sebelum keberangkatan, aku udah sibuk ngurus perlengkapan yang mau dibawa.  Beli tiket pesawat, beli koper gede, nge-list daftar barang yang mau dibawa dan berakhir sedikit adu mulut dengan Mami karena mau barang semua barang (yang later kuakui emang buat apa bawa barang sebanyak itu? hahahaha, sorry, mom!).

Satu hal yang aku notice saat mau berangkat itu, aku nggak punya banyak baju. Mungkin baju rumah beberapa juga udah pada bolong-bolong, plus baju buat pergi-pergi juga itu-itu terus. Yaudahlah nggak papa. Pake aja yang ada dulu di sana.

Eh ternyata Mami mengeluarkan beberapa piyama yang sepengetahuanku dibelinya saat aku SMP. Mami bilang jangan dipake, disimpen aja. Jadilah aku ke Surabaya, membawa empat pasang piyama yang baru, tapi nggak baru-baru amat. Kaos oblong bolong semua ditinggalkan di Kendari, jadi kain lap pastinya.

Saat keberangkatan pun tiba. Aku jadi melow sendiri mau ninggalin Mami dan adik di rumah berdua doang. Apalagi aku bakalan secara resmi memulai kesendirian di kos-kosan berukuran 2x4 meter, nyari makan sendiri, nyuci sendiri, bersih-bersih sendiri. Semuanya sendiri. Tapi aku nggak sampe berlarut-larut juga sedihnya, karena bulan Desember rencana balik karena mau ngambil ijazah.

Karena pengen naik Batik Air (nyaman plus terjangkau) dan cuman ada pesawat pagi, akhirnya ke bandara sendiri subuh-subuh dibekali satu bungkus roti cokelat buat sarapan. Total perjalanan tiga jam setengah, dengan durasi satu jam 40 menit transit di Bandara Sultan Hassanudin, Makassar. Nggak lupa ngasih info Mami dan kakak yang bakalan jemput di Bandara Juanda selama transit.

Di pesawat aku kebanyakan pake waktu buat tidur sama sesekali ngintip drakor. Tapi ada kejadian lucu sih sebelum landing, tepatnya 15 menit sebelumnya. Aku tiba-tiba kebelet pipis dan udah nggak dibolehin ke toilet pesawat. Akhirnya nahan pipis deh sampe landing sempurna. Aku udah nggak tahan lagi, pokoknya kudu pipis saat itu juga. Aku nanya ke pramugari apa boleh dipakai toiletnya, tapi pramugrarinya bilang udah nggak bisa dan disaranin ke toilet bandara aja. Padahal saat itu rasanya udah di ujung banget dan dikit lagi bakalan ngompol rasanya.

Setelah belalai pesawat udah boleh dibuka, aku langsung cabut cepet-cepet keluar narik koper kecil yang berada di kabin. Aku udah nggak ingat siapa aja yang aku sambar pas mau keluar, intinya aku mau ke toilet saat itu juga. Selama di belalai sampai koridor bandara menuju tempat klaim bagasi, aku lari sekencang-kencangnya. Akhirnya nemu toilet terdekat yang PUJI TUHAN sepi. Saat itu udah nggak pikir barang-barang mau ditaro di mana yang berakhir dititipkan ke pengguna toilet lain. Padahal sebelum berangkat Mami udah sempet pesan jangan sekali-kali nitip barang ke orang asing. Tapi, ya, mana sempat keburu merembes.

Selepas drama kebelet-hampir-ngompol kelar juga, aku pun langsung ngambil troli dan ngeklaim bagasi. Semuanya lengkap dan dalam kondisi aman. Di luar, kakak dan temannya udah nungguin buat jemput aku. Dan akhirnya, setelah 17 tahun hidup bersama orang tua, petualanganku untuk belajar dan hidup merantau secara resmi dimulai.

Kena Guncangan Budaya 1: Fashion Taste
Aku sampe di Surabaya hari Jumat, dengan asumsi Sabtu-Minggu bakalan dipake beres-beres kos. Senin langsung ke kampus buat ambil atribut Pekan Pengenalan Kampus (PPK). Dari bandara aku drop barang-barang di kosan, sambil unpacking juga. Impresi awalku dengan kos yang dicariin kakak cukup oke. Kebetulan dapat perabot kamar baru juga karena abis renovasi.

Setelah kelar nyusun barang dikit-dikit, aku langsung diajak ke Galaxy Mall yang katanya mall kece di Surabaya Timur. Yaudah nurut aja dan langsung pakai baju yang ada; blouse batik yang dibeli di Tanah Abang pas tahun 2016 plus celana kulot.

Kakak kaget bukan main setelah liat penampilanku. Dengan tertawa, ia nyeletuk:

“Ganti bajumu itu, di sini ndak ada orang pakai baju seperti itu.”

Aku kaget dong, maksudnya apa coba? Menurutku ini udah look paling nyaman dan aman buat dipake untuk ke mall.

Di sinilah kemudian aku lupa kalau aku sudah di Surabaya, kota metropolitan yang bergerak cepat termasuk sense berpakaiannya juga. Kakak bilang, bajuku itu sangat nggak cocok dipake ke mall. Bingung jadinya. Emang kayak gimana sih orang Surabaya pakai baju ke mall?

Atas rekomendasi kakak, aku pun disuruh mengenakan setelah baju kekinian yang ia barusan beli sebagai oleh-oleh dari Korea. Jujur aku nggak nyaman karena setelan itu membuatku harus mengekspos sedikit paha, yang menurutku nggak etis dipake di tempat umum. Tapi karena percaya aja sama omongannya, kita pun berangkat ke Galaxy Mall naik Grab.

Dan voila~ setelah nyampe di sana, mataku langsung tertuju ke pengunjung yang bener-bener well-dressed dalam artian pake serangkaian blouse, kaos, atau dress yang cantik banget. Paham deh akhirnya kenapa kudu ganti dresscode awalku tsaat itu karena bakalan berakhir jadi bahan tontonan orang.

Kira-kira beginilah fesyen mereka kalau ke mall. Ala-ala OOTD selebgram
Source: Instagram @michimomo

Sejak saat itu, aku akhirnya jadi lebih memahami baju seperti apa aja sih yang harus dipakai (menyesuaikan tempat dan occasion juga tentunya). Kurang lebih beberapa bulan di Surabaya pun, memilih kaos dan celana jins dengan sepatu/flatshoes bisa jadi dresscode paling aman dan bebas dari lirikan aneh.

Kena Guncangan Budaya 2: Makanan!
Lepas dari masalah fashion taste, aku pun dihadapi dengan guncangan baru yang menurutku sangat krusial, yaitu food taste. Yup, tiap daerah pasti punya cita rasa yang berbeda, bukan? Oleh sebab itu sebagai orang Sulawesi tulen, nggak heran kalau aku bakalan suka makanan pedas dan gurih.

Di Jawa Timur, impresi pertamaku pada makanannya yaitu okelah, masih pas di lidah. Makanan pertama yang kusantap setiba di Surabaya kala itu pentol aka bakso dikasih bumbu kacang gitu. Di Kendari, jajanan kayak gitu tuh, nggak diplastikin, baksonya ada yang dikukus atau goreng lalu disantap pakai kecap dan sambel. Kalau pake bumbu kacang kita nyebutnya sebagai siomay atau batagor tapi dijual per tusuk 1000 perak.

Daaaaan….. Ketahuanlah bahwa cara makan pentol di Surabaya tuh ada dua cara: pakai tusuk sate kalau mau higienis dan dimakan langsung dari plastiknya. Hah? Gimana tuh maksudnya?
Jadi, pentol dan bumbu kacangnya dimasukkin dalam plastik kecil gitu lalu bagian atas plastik diikat. Nah, kalau mau dimakan, tinggal gigit aja bagian bawah plastik sampe lubangnya pas buat pentolnya keluar. Simple, kan?
Eits, tapi bagi orang awam kayak aku gini, aku shock berat lihatnya. Pertama, itu plastik isi pentol nggak ada yang paham kebersihannya, tapi kok dilihat-lihat rasanya nikmad banget orang-orang makannya. Ini masih jadi misteri, sih. Awal-awal, aku masih merasa jijik untuk makan dari plastik tapi lama-kelamaan karena kepraktisannya, aku akhirnya pake cara ini juga, hehehe.

Dari caranya yang cukup ‘nggak biasa’ ini, pentol bagiku masih savory dan cocok buat jajan sehari-hari. Selain itu aku juga ketemu jajanan batagor yang berbeda jauh dari yang ada di Kendari (dari segi penyajian dan bentuknya). Rasanya juga gurih dan pedas, masih cocok di lidahku.

Menjelang pindah ke Surabaya, aku mewanti-wanti diri sendiri karena melihat pengalaman teman-teman yang udah merantau duluan ke Jawa pas SMA, makanan Jawa itu identik dengan rasa manis. Misalkan, makan sayur tumis, mereka akan pakai gula sebagai penambah rasa. Untuk orang yang hanya tau gula dipake untuk makanan manis seperti kue, aku udah males duluan pas dengerin.

Nyatanya, di Surabaya tuh makanannya lebih fun dan banyak variasi gitu. Kebetulan deket kos ada banyak penjual makanan, mulai nasi goreng gerobak, bakso, penyetan, dan sate ayam. Karena masih takut-takut, aku nyobain penyetan ayam dulu merely karena ada sambelnya. Menurutku, misalnya ayamnya tiba-tiba berasa manis, ada sambel yang bisa menyelematkan taste buds.

Secubit ayam dan sambel masuk ke dalam mulut. Uhm… Rasanya… Enak juga. Ayam gorengnya itu diungkep sama bumbu-bumbu gitu dan jatuhnya di lidahku terasa gurih. Sambelnya juga pedes banget. Pokoknya ekspektasiku yang naif tentang makanan manis kayaknya nggak akan aku dapetin di sini. Hari-hariku selanjutnya kutebak udah bisa berjalan dengan lancar.

Di kantin kampus juga makanannya lumayan enak dan cocok di lidah. Aku juga bertemu banyak penyebutan makanan yang cukup berbeda. Contohnya, dadar jagung. Pertama kali aku pesen ini di kantin, aku nyebutnya ‘perkedel jagung’ karena sebutannya begitu di Kendari. Mbak yang melayaniku saat itu bingung dan malah balik nanya.

“Jadi mau perkedel atau dadar jagung?”

Dalam posisi lagi sendiri dan nggak ada yang bisa jelasin perbedaan antara dua lauk itu apa plus malu bertanya, aku akhirnya milih kedua-duanya. Sesat di jalan pada akhirnya.

Setelah kuceritakan perkara ini ke kakak, ketahuan deh kalau di Surabaya mereka nggak menyebut makanan yang dibuat dari jagung serut dan tepung itu dengan sebutan ‘perkedel jagung’ melainkan dengan ‘dadar jagung’. Perkedel yang mereka tau cuman satu, yaitu perkedel kentang.

Kesalahpahaman penyebutan inilah yang bikin aku kadang-kadang konsul dulu ke teman-teman. Atau, kalau aku lagi mau pesen makanan dan di menu ada nama makanan yang terasa asing, pasti buru-buru langsung kutanyakan ke mereka demi menghindari bayar sesuatu yang nggak perlu macam perkara perkedel tadi.

Lambat laun, aku udah terbiasa dengan sebutan jenis makanan di Surabaya. Misalkan kates untuk pepaya, ikan untuk sebutan lauk (apa saja), oyong untuk gambas, manisa untuk labu siam, dan masih banyak lagi.

Balik ke masalah taste, makanan-makanan yang aku santap semuanya hampir nggak ada masalah, sih, selama awal-awal di Surabaya. Terutama, ketika aku akhirnya menemukan sebuah sajian khas berbahan petis, tahu, dan telor. Yup, apalagi kalau bukan sang TAHU TELOR!

Tahu telor terlezat sepanjang masa. Nggak ada tandingan. Titik.
Mendeskripsikan tahu telor, panganan satu ini merupakan satu-satunya sweet escape kalau lagi bingung mau makan apa. Gurihnya petis yang disiramkan ke atas tahu dan telor yang digoreng bersama serta kentang lembut yang menggunggah selera. Rasanya? Makan sambil netesin air mata. Lebay? Biarin! Tapi begitulah aku menikmati keajaiban makanan bernama tahu telor ini. Nggak ada makanan khas Surabaya yang seenak dia, meski emang kudu pinter-pinter nyari abang yang masaknya enak.

Menemukan makanan kesukaan di Surabaya pada akhirnya membuatku semakin percaya bahwa makanan di Jawa Timur itu sedikit berbeda dengan regional Jawa lain yang katanya lebih manis. Namun nggak menutup kemungkinan tetap akan ada masakan dengan cita rasa manis, ya!

Buktinya, aku nemuin beberapa sajian yang manis dan menurutku cukup aneh. Sebut saja dia gado-gado. Percayalah kawan, aku adalah pecinta gado-gado kalau makannya di Kendari. Kenapa? Tiga kali aku beli gado-gado di tempat yang berbeda, tiga kali pula aku makan mereka seperti makan gula. Entah kenapa rasa bumbu kacangnya jatuhnya manis banget dan buat enek. Dua-tiga suapan masih bolehlah, tapi begitu nyampe suapan selanjutnya, udahlah langsung buru-buru beli nasi goreng gerobak aja, deh.

Sejak saat itu aku udah nggak pernah lagi mau makan gado-gado hingga saat ini. Bukan  hanya gado-gado, aku juga merasa cukup sulit mendapatkan Chinese food yang sesuai selera. Pertama, cara makannya aja udah beda. Di Surabaya, nggak akan ada jeruk nipis atau lombok kuning sebagai teman makan. Kamu akan disodori cabe hijau utuh doang sama acar. Udah, sebatas itu.

Kedua, karakteristik Chinese food dengan pork di Surabaya itu tuh, ada casiu atau babi merah. Nah, letak permasalahannya ada di situ. Babi merah yang selama ini kusantap WAJIB hukumnya gurih apalagi kalau sebagai topping mie pangsit. Sayangnya, beberapa tempat yang kudatangi, casiu-nya terasa manis gitu, yang ternyata karena ada pemakaian madu saat dimasak. Jadi, aku kudu hati-hati banget saat memilih rumah makan untuk makanan jenis ini. Sejauh ini sih yang cocok di lidahku baru dua tempat. Satunya lumayan dekat dengan rumah, satunya lagi di Surabaya Barat nan jauh di sana. Selain emang bener-bener khas Sulawesi rasanya, mereka nggak bakalan merasa aneh kalau aku minta jeruk nipis dan lombok kuning karena mereka menyediakannya secara gratis.

Kalau lagi pengen makan makanan khas Sulawesi, di Surabaya nggak begitu sulit, kok, untuk menemukannya. Satu tahun tinggal di Surabaya, aku nemuin Coto Makassar yang rasanya mirip sama yang ada di Kendari beserta buras dan es sirup DHT! Kelezatan tiada tara emang. Tapi sayangnya belum pernah ketemu yang jual Sinonggi aka sagu khas Kendari. Ada sih yang jual Kapurung tapi menurutku rasanya cukup beda, terutama teman makan Sinonggi valid versi aku itu harus pakai Sup Ikan Pallumara dengan ikan Sunu/Kerapu. Deliciously daebak *air liur netes*.

Ya, meski aku banyak menemukan beragam variasi taste mulai dari yang cocok sampe nggak cocok, aku bersyukur karena makanannya yang SANGAT RAMAH DI KANTONG alias MURAH! Bayangkan, aku bisa makan nasi campur ayam komplit dengan harga 13-15 ribu doang. Mau agak hedon nambah lauk? Paling-paling abis 20 ribu. Ini gokil banget, sih. Pokoknya kalau bahas makanan di Surabaya bakalan jarang sambat (mengeluh).

Hampir tiap hari juga di sini aku makan ayam karena murah banget. Berbanding terbalik kalau mau makan ikan air asin, agak susah ditemui dan sekalinya ada pasti mahal. Jadi kalau lagi pengen banget makan ikan, mentok makan mujair, lele, atau yang mewah dikit gurame (atau dipanggil makan-makan sama keluarga di resto seafood mahal HOHOHO).

Kena Guncangan Budaya 3: KOTA RAPI NAN ASRI
Surabaya dengan prestasi bejibun dari Bu Risma aka Walikotanya nggak usah ditanyakan lagi, sih, ya. Media coverage-nya itu luar biasa dan nggak heran aku kebanyakan tau sisi Surabaya dari TV. Paling membekas di ingatan itu pas Bu Risma ngamuk di Taman Bungkul gara-gara tanamannya rusak diinjak-injak warga. Sampe-sampe, beberapa waktu sebelum berangkat aku searching di Google Maps letak taman ini. Betapa senangnya hati ternyata dia berada sangat dekat dengan kosan aku (yang berakhir tak pernah kukunjungi karena mager jalan kaki, dasar aku).

Pikirku, taman yang terkenal di Surabaya itu hanya Taman Bungkul. Aku salah besar rupanya. Sejauh mata memandang saat perjalanan dari bandara, aku menemukan banyak sekali taman yang berukuran lebih kecil dari Taman Bungkul, sangat hijau dan tertata rapi. Oh ya, selain taman, aku juga terkesima sama tata letak kota yang RAPI pake BANGET. Denger-denger Bu Risma emang sangat concern dengan masalah ini. Jadi nggak perlu heran lagi kalau di mana-mana ada pedestarian atau akses pejalan kaki yang sangat luas dan nyaman.

Bunga Matahari kesayangan di Taman Harmoni

Bunga Tabebuya, kebanggaan Kota Surabaya tentunya

Di Surabaya juga nggak perlu bertanya-tanya kalau ada mobil truk berisikan air dan ada petugas yang mulai siram-siram tanaman tiap sore/pagi hari. Yup, kalau udah buat sebagus ini berarti sekarang harus dirawat dong? Dan Bu Risma sekali lagi membuktikan kehebatannya. Semua hal yang dibuatnya selalu dijaga dengan baik. Sering kali aku juga nyaksiin petugas bahu-membahu melakukan pemerajaan. Bukan hanya tanaman saja lho, bahkan jalan raya yang aspalnya bolong-bolong pun akan segera dilakukan perbaikan.

Aku pengen cerita dikit tentang jalan aspal yang berlobang. Aku lupa tepatnya kapan, kira-kira Februari/Maret lalu aku berniat ke Galaxy Mall melewat jalan DHI I. Jalan raya ini emang sering dijadikan jalan pintas banyak orang, meski di kiri kanannya ada perumahan gitu.

Karena lagi musim hujan, banyak jalanan yang bolong. Masalahnya, bolongnya itu, lho, gede-gede banget. Kalau naik motor mungkin masih bisa ngeliuk-liuk menghindari lobang. Kalau mobil? Kayaknya mustahil buat dihindari karena lobangnya itu menutupi ¾ jalan.

Ini kufoto sebelum telpon 112. Gede banget bolongnya
Sebagai tindakan preventif, aku pun menelepon call center 112, yang sekali lagi merupakan kemudahan lain yang bisa digunakan oleh seluruh warga sebagai sarana pelaporan. Aku melaporkan keadaan yang terjadi dan nggak nyangka operatornya ramaaaahhhh banget! Pokoknya kira-kira 10 menit aku jelasin keadaan jalan dan nyebutin lokasi lengkapnya laporanku udah masuk daftar proses. Akan tetapi di satu sisi aku berpikir, apa iya laporanku ini bakalan diproses cepat?

Laporan itu kuajukan hari Jumat. Sabtu-Minggu hitungannya akhir pekan jadi nggak mungkin orang turun bekerja. Okelah, jadi kutunggu sampai hari senin.

Tau apa yang terjadi? Hari Senin sore, hanya selang tiga hari dari laporanku, SELURUH jalan DHI I diaspal kembali. Seluruh lobang ditambal, mau yang kecil dan besar. Pas aku lewat sana, sumpah aku terharu banget karena keluhanku ini dianggap serius karena ada belasan pekerja yang melakukan proses pengaspalan dengan cepat dan tanggap. Lobang yang gede itu juga ditambal sempurna. Keesokan harinya, seluruh aspal sudah kering dan jalanan mulus kembali. Pengendara aman sentosa.

TADAAA~ langsung beres hanya dalam waktu tiga hari!

Nggak salah klaim emang, dari segi tata kota, Surabaya layak disebut terbaik. Meski nggak menutup kemungkinan ada hal negatif yang juga aku cukup notice, seperti tukang parkir yang ngaku-ngaku resmi tapi ternyata bodong. Kerap kali aku dipaksa bayar parkir di tempat-tempat rekreasi umum. Tapi yasudahlah, itu hanya segelintir hal negatif yang kutemui dan kurasa akan tertutupi dengan seluruh kelebihan yang masih jauh lebih banyak.

Tiga tahun aku di Surabaya, aku paling senang tiap kali ada kesempatan ke taman umum. Aku dan pacar bahkan menjadikannya tempat ngedate kesukaaan, terutama di Taman Apsari, Taman Harmoni, Taman Korea, dan Taman Flora. Taman-taman di Surabaya ini friendly dengan pengunjung; ada banyak tempat duduk, ayunan untuk orang dewasa (favorite aku wkwk), dan toilet yang cukup bersih. Cuman karena sekarang lagi pandemi gini, ritual pacaran di taman lagi nggak bisa dilaksanakan. Aku kanget banget sih apalagi sama Taman Harmoni. Tempat pertama ngedate bareng pacar ditemani bunga matahari plus dekat dari rumah. HEHEHE.

Bonus foto candid (calon) pacar pas dating pertama di Taman Harmoni HEHE

Konklusi
Tiga tahun di Surabaya. Hanya satu yang kata yang bisa merepresentasikan semua memori yang ada: BERMAKNA. Surabaya adalah tempat pertamaku melewati masa remaja tanggung ke tahap dewasa, juga tempatku meniti dan mencari makna kehidupan. Terlebih orang-orangnya pula, sambutan dan kerelaan mengajarkan berbagai kebiasaan dan budaya baru untukku sangatlah bermanfaat. Entah kamu yang pernah singgah sebagai teman, sahabat, tetangga, mari temani aku lebih lama lagi di kota Pahlawan ini. Tanpa rasa menerima kalian, aku yakin takkan bisa survive di sini terutama di tahun pertamaku!

Dan kuucapkan selamat datang tahun-tahun selanjutnya bersamaku, Surabaya. Meski hingga detik ini aku bahkan nggak tahu waktu akan membawaku ke destinasi mana, aku akan tetap percaya dirimu sebagai tempat untuk menghabiskan hari dengan karya di kemudian hari. Dan selamanya, Surabaya pasti akan selalu menempati ruang di hatiku. Terus kejutkan aku dengan rahasia yang belum kujumpai, ya!

Tertanda,
Dari anak rantau yang telah kau ajak kerasan bersama, G.







Comments

Popular posts from this blog

Lolos TPA PAPs UGM Skor 550+ dalam 1,5 Bulan

Jika kamu memutuskan untuk melanjutkan pendidikan tingkat magister dan doktoral di Universitas Gadjah Mada, maka kamu akan bertemu dengan sebuah persyaratan yaitu skor TPA. TPA atau Tes Potensi Akademik adalah sebuah tes yang dilakukan untuk menguji kemampuan seseorang yang biasanya dilihat dari empat sub tes: Verbal, Angka, Logika, Spasial/Gambar. Sepengetahuanku, TPA biasanya hanya akan terdiri dari sub-sub tes di atas. Terutama bagi TPA jenis tes PAPs (Potensi Akademik Pascasarjana). Berhubung TPA yang aku ikuti hanyalah PAPs maka aku akan lebih menjelaskan apa pun yang berhubungan dengannya. Kebetulan aku perlu skor dan sertifikat PAPs untuk memenuhi pendaftaran di gelombang 2 semester gasal 2021/2022. Jadi, aku akan membagikan pengalamanku mengikuti tes PAPs dalam masa-masa pendaftaran semester gasal saja, yap. Apa itu PAPs? PAPs adalah tes potensi akademik yang diperuntukkan bagi calon pendaftar program pascasarjana (magister dan doktoral) UGM dan pertama kali diluncurkan o...

Menjadi Orang Tua Suportif

 Nemu sebuah menfess di base Twitter. Basically ini chat dua orang yaitu anak & ibu tentang hasil pengumuman SNBP (atau SNMPTN, penyebutan sebelumnya).  Lihat menfess & chat ini aku jadi realize bahwa sebenarnya privilege paling sederhana yang mungkin bisa didapatkan oleh seorang anak yaitu "support orang tua atas keputusan anaknya". Aku yakin anak ini pasti sangat cemerlang di sekolah dan tau apa yang dia inginkan untuk masa depannya. Tapi melihat respon orang tuanya, aku sangat prihatin dan ikut tersayat hati.  Link Menfess Tapi memang itulah yang terjadi. Nggak jarang pula bahwa ada tipe orang tua yang merasa sebagai "sopir" dalam kehidupan anak-anaknya. Bahwa anak yang dihasilkan adalah suatu keharusan bagi mereka untuk menurut dan berbakti ke orang tua. Anak sering nggak diberi ruang untuk bertumbuh sesuai minat yang membuat dia nyaman. Kadang, anak malah nggak boleh membantah karena alasan materi alias orang tua yang bakalan bayarin sekolah, jadi anak ...

Semarak Lulus Jilid 2

Sudah lama tulisan ini mengendap di draft. Nggak dipungkiri sih, cukup banyak ketegangan dan perubahan-perubahan dalam hidup yang sebenarnya ingin diceritakan, tapi perlu niat yang besar. Seperti tulisanku yang menuliskan gimana 'semarak'nya kelulusan S1 awal 2021 lalu, kali ini aku ingin menorehkan kembali apa yang kualami untuk menambah gelar di belakang suku kata terakhir namaku. Proses untuk meraih gelar magister nggak mudah. Aku sudah pernah share di post sebelumnya kalau aku benar-benar under pressure untuk menuntaskan tesis sampai di titik I believe I don't want to write another academic writing forever. Ada perasaan trauma(?) atau semacam ingin kabur ketika harus kembali membuka laptop dan mengetikkan rumusan penelitian hingga tuntas. Tapi bagaimana bisa kabur, sekarang karierku harus berurusan dengan mereka... Yang tentu saja dengan penuh usaha akan aku lakukan, sembari berdamai dengan jurnal-jurnal dan buku-buku akademis itu. Juli 2023 aku lulus sidang tesis. Aku ...