Skip to main content

Terharu Karena Kerja Praktik

Nggak terasa udah hampir sebulan aku menjalankan kewajiban kerja praktik (KP). Di tengah pandemi kayak begini, rasanya kayak hampir mustahil untuk bisa dapat tempat kerja praktik yang mau bekerja secara remote/daring. Syukurlah, di tengah-tengah kegelisahan, aku berhasil mendapatkan sebuah posisi sebagai content creator sosial media di sebuah yayasan non-profit bernama Yayasan Usaha Mulia (YUM) yang berpusat di Jakarta. Sebetulnya, kampus memberikan kebijakan untuk bisa mensubtitusi KP perusahaan dengan membuat project. Tapi aku tetep ingin coba dulu apply ke beberapa perusahaan (kebanyakan media massa), dan hasilnya hampir semua menolak dengan alasan tidak menerima anak magang atau harus bekerja di kantor.

Detik-detik pengumpulan proposal, aku pun berpikir apa sebaiknya project saja, ya? Toh, intinya sama-sama berkarya. Tapi takdir berkata lain, aku dipertemukan dengan sebuah situs untuk para relawan dan di situlah aku berjodoh dengan yayasan ini. Rasanya tentu saja bahagia, karena impianku sejak dahulu ingin benar-benar merasakan bagaimana bekerja di sebuah organisasi yang sarat dengan praktik profesionalisme.

Saat itu nggak perlu menunggu lama hingga dinyatakan lulus. Di mulai dari pendaftaran daring, submit CV dan portfolio, sampai interview singkat bersama salah satu supervisi bernama Kak Sisca. Rasanya sungguh deg-degan, karena itulah pertama kalinya aku bertatap muka dengan calon atasan untuk mendapatkan posisi pekerjaan.

Setelah melakukan riset mengenai pekerjaan content creator sosial media, aku pun harus dihadapkan pada beberapa kemampuan baru yang aku rasa belum punya. Pertama, analisis audiens. Siapa yang mau lihat postingan kita? Untuk apa mereka membaca postingan itu? Bagaimana caranya supaya audiens tertarik pada postingan kita? Engagement seperti apa yang diinginkan?

Jujur, aku nggak punya pengalaman analisis audiens yang gimana-gimana gitu. Kebanyakan baca teori doang di kelas. Agak sulit untuk merealisasikannya ke sosial media sebuah organisasi yang telah berdiri puluhan tahun. Syukurlah, aku dibantu oleh Kak Sisca yang luar biasa insightful dan ramah. Aku diajarkan banyak hal mengenai manajemen sosial media di dunia nyata, bukan hanya sekedar teori di buku paket.

Kedua, aku pun dihadapkan pada kenyataan baru, yaitu aku harus bisa design. Yap, design! Aku bukan desainer hebat yang cakap software. Jangankan cakap, laptop saja nggak memadai. Buka corel, crash. Buka Photoshop, loading nggak kelar-kelar.

Sebelumnya, aku gagap banget sama namanya aplikasi desain. Baru kira-kira sejak aku jadi student staff di kantor Humas kampus, aku diajarkan memakai Coreldraw. Bisa sedikit-sedikit udah buat seneng pasti, tapi gimana caranya mau diimplementasikan di desain sosial media sebuah yayasan? God! Aku bahkan nggak tau harus bikin apa.

Pengerjaan desain pertama, aku disarankan pakai Canva dulu. Pakai desain template, warna dasar yayasan, dan layout sederhana. Tentu aja semuanya selesai dalam sekejap dan hasilnya oke karena semua ornamen tersedia gratis dan melimpah di sana. Bisa dibilang Kak Sisca juga puas dengan hasilnya. Tapi, apa aku sendiri puas dengan itu? Awalnya mungkin aku akan jawab, iya. Kemudahan dan nggak perlu ribet sama Corel yang buat aku nyaman sama Canva. Lama kelamaan, aku merasa perlu keluar dari zona nyaman itu dan beralih ke Corel. Pasalnya, toh, udah bisa basic-nya sampai lulus mata kuliah desain grafis juga. Jadi, kenapa nggak challenge kreativitas lebih dengan aplikasi editing profesional?

Kembali ke tujuan awal untuk KP di lingkungan yang profesional, aku juga ingin skill-ku bertambah. Aku ingin setelah selesai KP, ada yang bisa aku bawa jadi bekal selama berkarir nanti. Oleh karena itu, aku pun coba mulai berkreasi lewat Corel, cari tips dan cara desain lebih bagus lagi. Berbekal browsing dan nonton YouTube, aku pun mencobanya.

Selama dua bulan masa KP, aku akan terus dihadapkan dengan tugas baru. Hingga beberapa waktu lalu, aku diberikan sebuah tugas review dokumen laporan sponsor bagi anak-anak penerima bantuan pendidikan. Oh ya, YUM saat ini bergerak di bidang pendidikan, kesehatan, dan pengembangan komunitas (seperti lansia, dll) gitu. Jadi aku sudah tak asing berinteraksi dengan hal-hal seperti fundraising dan sponsorship.

Secara pribadi aku nggak kenal orang-orang yang namanya tercantum di dokumen itu. Aku hanya membaca sekilas kisah hidup dan melihat foto mereka. Tapi, di lain sisi, ada suatu hal yang membuat diriku, seorang mahasiswi salah satu perguruan tinggi di kota besar yang hidup dari uang orang tua dengan nyaman merasa bak disambar petir siang bolong.

Dalam laporan sponsor itu, aku dipertemukan dengan beberapa anak yang baru saja masuk SMA atau yang masih SMP. Mereka tinggal jauh dari Pulau Jawa yang penuh kemudahan. Tepatnya di sebuah kota di Kalimantan, mereka menempuh pendidikan dengan serba keterbatasan. Seperti pepatah every dreams are valid, mereka juga menggantungkan impian mereka setinggi mungkin. Namun, nggak mudah bagi mereka untuk mewujudkannya. Orang tua mereka nggak berhasil mengupayakan pendidikan sehingga mereka terancam tak bisa menjadi pemilik bengkel atau bekerja di bidang agrikultur menurut cerita impian mereka di laporan itu.

Di tengah ketidakadilan dunia yang semakin merajalela, ternyata masih ada orang-orang baik di luar sana yang rela menahan impian anak-anak ini agar tetap berada di tempat tertinggi. YUM misalnya, ia hadir menjadi wujud perantara bagi para donor untuk memberikan bantuan. Setiap melihat senyum mereka di foto-foto itu, aku langsung terenyuh dan terharu. Bayangkan bagaimana bila nggak ada kesempatan yang datang dari yayasan atau para donor sponsor pendidikan, apakah nanti mereka masih percaya pada kekuatan mimpi?

Sekali lagi, aku yang kebetulan sangat beruntung ini didorong untuk lebih banyak bersyukur. Bagaimana sekiranya aku masih diberi kesehatan dan akses untuk menuntut ilmu yang terasa tak terbatas. Selalu kutanamkan dalam pikiranku, please don’t take it for granted… Just don’t. Karena ketika aku masih bisa menggunakan fasilitas untuk mencurahkan isi hati dan pikiran dalam tulisan ini, juga kalian yang masih berkesempatan membacanya, suatu saat semuanya bisa lenyap begitu saja. Oleh sebab itu aku harap kita semua bisa mensyukuri segala hal, sekecil apapun itu.

Saat orang tua kita masih mampu memberikan pendidikan yang terbaik secara materi maupun non-materi, jadikan itu sebagai pemacu untuk membalas semuanya dengan bersekolah yang baik. Aku yakin Tuhan tidak pernah salah menempatkan rezeki kepada hambaNya, maka dari itu, gunakanlah itu sebijaksana mungkin. Jauhkanlah diri dari kesia-siaan. Jadilah manusia yang autentik serta bermanfaat bagi orang banyak.

Aku sangat bersyukur bisa KP. Menjalankan KP di YUM awalnya hanya kuanggap sebagai tempatku mendapatkan ilmu baru terutama bekerja secara profesional. Namun di dalam prosesnya, mata hatiku pun jadi ikut terbuka, bahwa ada orang yang jauh di bawah kita. Orang-orang yang juga memiliki impian dan harapan untuk hidup lebih baik. Aku juga jadi tidak henti-hentinya bersyukur karena telah bertakdir dengan yayasan, seluruh insan yang memberikan dan diberikan bantuan. Cerita mereka benar-benar menjadi kekuatan tersendiri bagiku dan aku bahagia telah belajar banyak dari mereka.

Tinggal sebulan lagi waktuku bersama YUM ini. Tapi, aku berharap bahwa setelah masa KP telah selesai, aku tidak hanya menyelesaikannya hanya karena sekedar kewajiban belaka, tapi juga dapat menjadi pribadi yang bertambah ilmu dan rasa syukurnya serta bisa turut membantu langsung mewujudkan cita-cita mulia mereka.

Amin.




Comments

Popular posts from this blog

Lolos TPA PAPs UGM Skor 550+ dalam 1,5 Bulan

Jika kamu memutuskan untuk melanjutkan pendidikan tingkat magister dan doktoral di Universitas Gadjah Mada, maka kamu akan bertemu dengan sebuah persyaratan yaitu skor TPA. TPA atau Tes Potensi Akademik adalah sebuah tes yang dilakukan untuk menguji kemampuan seseorang yang biasanya dilihat dari empat sub tes: Verbal, Angka, Logika, Spasial/Gambar. Sepengetahuanku, TPA biasanya hanya akan terdiri dari sub-sub tes di atas. Terutama bagi TPA jenis tes PAPs (Potensi Akademik Pascasarjana). Berhubung TPA yang aku ikuti hanyalah PAPs maka aku akan lebih menjelaskan apa pun yang berhubungan dengannya. Kebetulan aku perlu skor dan sertifikat PAPs untuk memenuhi pendaftaran di gelombang 2 semester gasal 2021/2022. Jadi, aku akan membagikan pengalamanku mengikuti tes PAPs dalam masa-masa pendaftaran semester gasal saja, yap. Apa itu PAPs? PAPs adalah tes potensi akademik yang diperuntukkan bagi calon pendaftar program pascasarjana (magister dan doktoral) UGM dan pertama kali diluncurkan o...

Menjadi Orang Tua Suportif

 Nemu sebuah menfess di base Twitter. Basically ini chat dua orang yaitu anak & ibu tentang hasil pengumuman SNBP (atau SNMPTN, penyebutan sebelumnya).  Lihat menfess & chat ini aku jadi realize bahwa sebenarnya privilege paling sederhana yang mungkin bisa didapatkan oleh seorang anak yaitu "support orang tua atas keputusan anaknya". Aku yakin anak ini pasti sangat cemerlang di sekolah dan tau apa yang dia inginkan untuk masa depannya. Tapi melihat respon orang tuanya, aku sangat prihatin dan ikut tersayat hati.  Link Menfess Tapi memang itulah yang terjadi. Nggak jarang pula bahwa ada tipe orang tua yang merasa sebagai "sopir" dalam kehidupan anak-anaknya. Bahwa anak yang dihasilkan adalah suatu keharusan bagi mereka untuk menurut dan berbakti ke orang tua. Anak sering nggak diberi ruang untuk bertumbuh sesuai minat yang membuat dia nyaman. Kadang, anak malah nggak boleh membantah karena alasan materi alias orang tua yang bakalan bayarin sekolah, jadi anak ...

Semarak Lulus Jilid 2

Sudah lama tulisan ini mengendap di draft. Nggak dipungkiri sih, cukup banyak ketegangan dan perubahan-perubahan dalam hidup yang sebenarnya ingin diceritakan, tapi perlu niat yang besar. Seperti tulisanku yang menuliskan gimana 'semarak'nya kelulusan S1 awal 2021 lalu, kali ini aku ingin menorehkan kembali apa yang kualami untuk menambah gelar di belakang suku kata terakhir namaku. Proses untuk meraih gelar magister nggak mudah. Aku sudah pernah share di post sebelumnya kalau aku benar-benar under pressure untuk menuntaskan tesis sampai di titik I believe I don't want to write another academic writing forever. Ada perasaan trauma(?) atau semacam ingin kabur ketika harus kembali membuka laptop dan mengetikkan rumusan penelitian hingga tuntas. Tapi bagaimana bisa kabur, sekarang karierku harus berurusan dengan mereka... Yang tentu saja dengan penuh usaha akan aku lakukan, sembari berdamai dengan jurnal-jurnal dan buku-buku akademis itu. Juli 2023 aku lulus sidang tesis. Aku ...