Saking sukanya dengan film Kim Ji Young Born 1982, aku sampai
langsung membeli novelnya. Untung saja aku langsung bisa membelinya di marketplace kesukaan umat manusia yang berlogo
oranye itu. Habis nonton filmnya, aku langsung nyari beberapa review dan ulasan mengenai film tersebut
di situs Korea. Aku awalnya udah tau kalau memang film ini berdasarkan novel
tapi nggak nyangka novel itu juga bahkan diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia
(maklum susah dapat novel terjemahan). Orang-orang yang menulis ulasan film ini
mengatakan semua orang harus baca novelnya karena ada banyak sekali kisah yang
nggak tersampaikan dalam film karena masalah durasi. Karena alesan itulah aku
akhirnya membeli novel ini segera dan membacanya hanya dalam waktu sehari.
Ternyata emang
ada beberapa kisah yang nggak diceritakan dalam film dan apa yang terdapat di
film nggak sedetail buku. Nasib emang, rata-rata film yang berdasarkan novel
itu nggak bisa menampilkan secara detail karena beberapa aspek. Paling umum
sih, karena durasi. Jadi, penulis naskah harus pintar-pintar memilih bagian
mana saja yang pantas naik layar.
Di postingan
kali ini, aku akan melanjutkan ulasan dan analisis film Kim Ji Young Born 1982
sebagai part kedua dan terakhir. Dalam postingan sebelumnya, aku udah lumayan
banyak membahas realitas sosial yang tergambarkan dengan apik dalam kehidupan
Kim Ji Young. Dalam bagian ini, aku juga akan kembali menekankan beberapa
adegan yang sangat cocok menggambarkan kondisi saat ini. Nah, kalau kalian
belum sempat baca bagian 1 dari postingan ini, bisa banget untuk cek di
postinganku sebelumnya. And here we go, bagian
dua-terakhir dari KIM JI YOUNG DAN
RUMITNYA REALITA PATRIARKI YANG MENGUBUR MIMPI.
Poster Kim Ji Young Born 1982 Credit: geotimes.com |
Kau boleh mengambil cuti mengurus anak jika kau mau. Tapi kau tahu nasib para pekerja pria yang mengambil cuti tersebut? Saat mereka kembali, kursi dan mejanya sudah bersih. Mereka bahkan tidak bisa kembali bekerja. Jadi cuti mengurus anak itu sama saja bohong.
Penggalan dialog di atas menampilkan bagaimana Dae Hyun, suami Ji Young, tengah mendiskusikan rencana dirinya yang ingin mengambil cuti mengurus anak dengan dua temannya. Dialog tersebut merupakan jawaban rekan kantornya saat salah seorang staf juga mengambil jatah cutinya. Siapa sangka, cuti mengurus anak bagi laki-laki yang telah menikah dapat diambil dan terdapat pada aturan perusahaan, namun itu sama saja dengan membunuh karir. Tidak ada harapan dan masa depan.
Adegan
tersebut ialah bagaimana realitas seorang laki-laki yang terdapat di masyarakat
kita. Budaya dan ideologi yang sudah turun temurun mengakar, seolah-olah juga
ikut mengikat laki-laki di meja kantornya. Hidup laki-laki ditentukan dari
seberapa tinggi pangkat atau jabatannya, setebal apa amplop gajinya, dan
sebesar apa ruang kerjanya. Mereka tidak leluasa untuk memomong anak. Tidak ada
ruang yang diberikan untuk sekedar mengaduk susu anaknya yang kelaparan. Padahal
ada kasih sayang yang ingin dipancarkan sebagai seorang ayah. Yang terpenting,
tangannya berada di atas, memberi segepok duit bagi sang isteri yang terikat di
kursi rumah untuk membeli susu anak. Seolah-olah perempuan juga dituntut untuk
tidak bergerak kemanapun hatinya inginkan.
Jika hidup
laki-laki diukur sedemikian rupanya, maka tidak heran jika kesempatan yang
ingin dirasakan Dae Hyun untuk memberikan sedikit kelonggaran dan udara segar
bagi Ji Young nyaris nihil. Dae Hyun ingin Ji Young memiliki kesempatan yang
sama. Ji Young tidak bodoh. Ji Young berpendidikan sarjana, lulusan Sastra
Korea dan bekerja dengan baik. Suaminya ingin ia menapakkan kakinya di dunia
yang luas ini. Namun, Dae Hyun terjerat realitas bahwa jika sekalipun ia
mengambil jatah cuti, Ji Young tidak akan mampu menggendutkan kas rumah tangga.
Segitu mirisnya sistem pengupahan di Korea Selatan bagi perempuan. Ketimpangan
inilah yang membuat Dae Hyun sempat ragu, namun akhirnya ia menetapkan
pilihannya yakni memberikan kesempatan bagi Ji Young.
Cuplikan adegan Kim Ji Young Born 1982 Credit: Soompi.com |
Ji Young pun
tidak diam saja. Saat ia memutuskan untuk melamar pekerjaan di perusahaan baru
atasannya yang baru saja resign, ia
juga memutar otak bagaimana Ah Young, anaknya, dapat diasuh dengan baik sembari
kedua orang tuanya bekerja. Ji Young mengunggah lowongan pengasuh di internet
dan menempelkan selebaran di tempat umum. Namun, tetap saja usaha ini gagal. Di
titik inilah, Dae Hyun mengalah dan berjanji akan merawat Ah Young selama Ji
Young kembali bekerja.
Senyum
sumringah telukiskan di wajah Ji Young yang selama ini murung. Mungkin dari
seluruh adegan yang ditampilkan, inilah satu-satunya senyum Ji Young yang
paling lebar. Gestur tubuhnya menyatakan antusiasmenya untuk kembali di dunia
yang ia sukai. Di satu sisi, kejadian yang cukup mencengangkan baru saja
terjadi di rumah orang tua Dae Hyun saat perayaan tahun baru. Ji Young menjadi
orang lain, atau lebih tepatnya menjadi ibunya sendiri. Pemicunya sudah jelas,
mertua Ji Young yang terlalu menekan menantunya untuk mengerjakan pekerjaan
rumah sendiri. Terlihat dengan jelas bagaimana mertuanya sangat membanggakan
Dae Hyun, mengatakan bahwa Ji Young beruntung memiliki suami pengertian. Ji
Young bahkan harus menyiapkan makanan bagi ipar perempuannya yang juga datang.
Iparnya yang merupakan kakak Dae Hyun diperlakukan bak tuan puteri. Semua
makanan dan perlengkapannya disediakan oleh Ji Young. Di hari itu, Ji Young
tidak dipelakukan selayaknya isteri anak lelaki mertuanya. Tekanan inilah yang
membuat Ji Young mengalami gangguan psikis, hingga terkadang ia berbicara
seperti orang lain.
Karena
kejadian inilah sang mertua merasa agak bersalah, namun tetap menyalahkan
menantunya sebagai pembangkang. Sebagai rasa “maaf”-nya, ia pun membelikan
vitamin bagi Ji Young, karena baginya, Ji Young sedang kurang sehat. Ketika Ji
Young menelepon mertuanya untuk mengucapkan terima kasih, Ji Young mengatakan
bahwa ia akan meminum vitamin tersebut dan akan bekerja dengan baik di
perusahaan baru tempatnya akan bekerja. Sang mertua yang terlampau keras itu
pun membentak Ji Young, menanyakan maksud perkataannya. Ji Young berpikir bahwa
Dae Hyun telah memberitahu ibunya perihal itu. Bukannya menyemangati Ji Young,
sang mertua malah balik marah-marah. Puncaknya, saat Ji Young mengatakan bahwa
Dae Hyun sudah bersedia untuk mengambil cuti mengurus anak selama satu tahun
atau sampai Ah Young dianggap sudah bisa ditinggal di penitipan anak. Mertua
yang kalap ini membentak Ji Young karena menghancurkan karir Dae Hyun.
Seolah-olah, hanya Dae Hyun yang memiliki karir dan pantas diperjuangkan.
Kabar ini
pun terdengar di telinga Mi Sook, Ibu Ji Young. Mi Sook sejak saat Ji Young mengenyam bangku
kuliah mendukung penuh impian sang anak agar apa yang ia lalui semasa kecil
tidak terulang di anak perempuannya itu. Setelah mendengar kabar tersebut, Mi
Sook murka. Ia tidak tahu apa-apa yang terjadi dengan anaknya. Ji Young mungkin
terlihat biasa saja, namun setelah mendengar hal tersebut, Mi Sook mengunjungi
Ji Young dan mendapati sang anak yang tertekan itu pun kembali berubah dan
berbicara seperti orang lain. Kali ini, Ji Young menjadi ibu Mi Sook yang
terlihat bersalah menopangkan semua kewajiban mencari nafkah pada Mi Sook.
Mi Sook saat mengetahui Ji Young menjadi orang lain yang tidak lain ialah ibunya sendiri |
Bagiku
pribadi, adegan inilah yang membuatku nangis kencang. Bagaimana tidak, hati ibu
seperti apa yang sudah mati-matian mendukung impian sang anak yang tidak
terkejar, harus dihadapkan dengan kenyataan pahit bahwa anaknya menderita
selama ini? Terlebih lagi Ji Young tersiksa karena sesuatu yang menyiksanya
dulu. Kerapuhan Ji Young ini malah ditambah dengan ribut dengan mertua yang
begitu mendewakan anak laki-lakinya.
Mi Sook
hanya bisa diam, menatap Ji Young yang berbicara seperti ibunya, menyatakan
penyesalannya telah mengubur impian Mi Sook muda untuk menyokong kakak-kakak
laki-lakinya. Tangis Mi Sook pecah tatkala ia memeluk puteri yang akan selamanya
ia anggap anak kecilnya itu, sembari bertanya pada Dae Hyun, “Apa yang telah
kau lakukan pada Ji Young hingga dia begini?”
Bagaikan
petir di siang bolong, sebenarnya melalui adegan ini kita diajak untuk
merenungkan kembali bagaimana perempuan sebenarnya terjerat dalam paham ini.
Perangkap ini seakan-akan tidak membiarkan kita melakukan gebrakan perubahan
sebagaimana yang ingin dilakukan Ji Young. Mertua Ji Young, Ibu Dae Hyun,
mungkin saja juga pernah memiliki mimpi. Tapi, apa mau dikata, keadaan yang
saat ini dialami Ji Young pernah terjadi pada Ibu Dae Young. Itulah yang
kemudian menjadikan problematika ini kembali menjadi lingkaran setan, atau kata
Ji Young, “seperti melompati tembok besar dan tinggi, lalu bertemu tembok
lainnya.”
Kondisi
problematik inilah yang menyebabkan perempuan menjadi tidak punya pilihan
selain sebagai agen peneguh ideologi “perempuan berada di posisi inferior”.
Mertua Ji Young adalah perempuan, namun ia memaksa perempuan lain satu alur
dengannya. Namun di satu sisi, ia tidak ingin puterinya merasakan apa yang
dialami Ji Young. Sungguh egosentrisme memang dan susah untuk dipahami. Akan
tetapi bagai nasi sudah menjadi bubur, Ibu Dae Hyun tidak punya jalan lain
selain mendewakan posisi laki-laki yang berada di lingkaran hidupnya, karena ia
pun juga korban selama berpuluh-puluh tahun.
Lalu, di
manakah posisi laki-laki ingin ditampilkan dalam film ini? Mudah saja ditebak.
Semuanya nyata dalam rupa suami, ayah, anak laki-laki, dan pekerja laki-laki.
Hampir semua sama saja wujud dan perilakunya. Sebagai contoh, bagaimana
cerminan ayah Ji Young memperlakukan Ji Young, Eun Young, dan Ji Seok. Dua anak
perempuan yang memiliki jarak usia agak jauh dengan anak laki-laki satu-satunya,
membuat sang anak laki-laki alias Ji Seok berada di atas angin. Salah satu
adegan yang menampilkan bagaimana ayah Ji Young sangat membedakan perlakuan
pada Ji Seok dan kedua kakaknya ialah saat ayahnya harus ke Inggris untuk tugas
kantor. Di sana, ia membelikan Ji Seok oleh-oleh pena mahal berukir namanya.
Nasib apes harus diterima Ji Young dan Eun Young karena harus puas mendapatkan
buku sketsa, karena statusnya sebagai puteri ayahnya. Bagai dunia yang terus berputar, Ji Seok yang masih diagung-agungkan sebagai putera ayahnya itu diberi sekotak vitamin. Sang ayah tidak repot-repot membelikan untuk kedua puterinya. Hal ini yang membuat Mi Sook murka dan menyuruh ayah Ji Young untuk membuka mata, untuk apa memberikan vitamin untuk puteranya yang sehat, dan tidak pernah memberikan puterinya vitamin meski sedang sakit?
Dalam dunia
kerja pun juga sama. Rekan kerja Ji Young mengalami kejadian kurang mengenakkan
di mana kamera tersembunyi terpasang di kamar mandi umum. Bahkan video dari
kamera tersebut tersebar di kalangan karyawan laki-laki, bahkan merekapun
dengan bebas menyebarkannya lagi dan menceritakan seolah-olah itu adalah hal yang
lumrah. Aku teringat pada kasus yang cukup menggemparkan Korea Selatan yaitu
penemuan kamera tersembunyi di kamar mandi dan kamar ganti perempuan. Kasus ini
menjadikan para perempuan sebagai target korban. Sekali lagi, perempuan
dinyatakan tidak berdaya dan dipandang sebagai objek.
Para perempuan Korea Selatan turun ke jalanan dalam gerakan #MeToo Credit: economist.com |
Terkadang,
memang apa yang terdapat dalam adegan Kim Ji Young Born 1982 terasa nyata,
dekat, dan lekat dengan kehidupan kita. Rasanya meringis jika kita merasa bisa relate dengan Ji Young dan Mi Sook.
Dengan merasa relate, kita
seakan-akan mendeklarasikan bahwa kita masih dalam genggaman patriarki. Sebagai
perempuan, kita bukan lagi hanya pajangan di rumah yang menurut perintah.
Laki-laki boleh bertindak sesuai karir yang menuntut, namun wanita juga manusia
yang memiliki kesempatan dan impian yang sama. Ketika laki-laki berhak bermimpi
menjadi presiden, maka perempuan juga berhak memimpikan hal yang sama. Saat
laki-laki dihadapkan dengan nominal tujuh sampai delapan angka, maka perempuan
juga berhak terkualifikasi dalam kesempatan tersebut.
Meski di
film ini Ji Young mengalami akhir yang cukup bahagia dan realistis, yakni ia
mendapatkan pertolongan dari psikiater dan menjadi seorang penulis, nasib Ji
Young yang sudah-sudah rasanya hanya terkubur saja. Kepasrahan Ji Young yang
sudah tidak bisa terbendung lagi membuatnya harus kembali mengalah dengan
keadaan. Ia sudah berusaha sebisanya, namun begitulah keadaan yang menekannya.
Setidaknya, untuk saat itu, Ji Young telah mendapatkan bagiannya yang hilang.
Akan tetapi, sesuatu yang menakutinya selama ini akan terus menghantui dan
membuntutinya.
Kim Ji Young
membuka mata dan menegur keras bagaimana praktek ideologi patriarki, budaya
laki-laki superior, di sektor publik dan perempuan inferior, di sektor domestik,
kaum mysoginist, para pelaku sexism, dan pihak manapun yang menutup mata
atas equality yang selama ini
mengalami ketimpangan. Tidak ada satupun manusia yang memilih lahir menjadi Ji
Young atau Ji Seok. Tidak ada pula manusia yang tidak boleh bermimpi hanya
karena alat kelaminnya berfungsi mengandung dan melahirkan. Sudah saatnya zaman
berubah. Pola pikir dan konstruksi sosial masyarakat sudah terlalu kuno dan
harus dirombak. Kita, perempuan,
tidak hidup dalam bayangan seperti itu. Kita bebas memilih, menentukan masa
depan, dan tidak dikekang paham atau konstruksi sosial manapun. Kita adalah Ji
Young, yang memilih menjadi seorang ibu dan juga perempuan seutuhnya dengan sejuta impian yang luar biasa.
Live like a flower!
Comments
Post a Comment