Sejak rilis bulan November tahun lalu, film Kim Ji Young Born
1982 seolah-olah mengubah jalan pikirku selama ini. Saking sukanya, film ini
udah empat kali kutonton. Film yang dibintangi bintang papan atas seperti Gong Yoo, Jung Yoo Mi, hingga Kim Mi Kyung ini emang udah jadi kontroversial
banget di kalangan orang Korea sendiri sampai kena boikot di mana-mana. Namun,
di sinilah letak kehebatan sebuah produk media massa mampu menyuarakan suara
minoritas yang selama ini bagai di balik bayangan. Seolah hanya menjadi benalu
dan tidak punya kemampuan berdiri sendiri.
Nah bagi yang belum sempat nonton film ini, boleh nonton dulu
trailernya:
Sebenarnya,
aku pengen banget untuk angkat film ini sebagai topik tugas akhir. Sayangnya,
karena tidak ada korelasi yang begitu jelas antara budaya Korea dan Indonesia,
jadi agak susah untuk dilanjutkan. Pembimbing juga meminta untuk mengganti
topik sehingga aku jadi sedih banget, padahal pengen bahas film ini. Kebetulan
banget, daripada tidak dituangkan dalam sebuah tulisan meskipun bukan tugas
akhir, setidaknya dapat sedikit melegakan pikiran dan hati setelah ditolak
pembimbing, hehehe. Bagi kalian yang belum nonton filmnya, aku saranin buat nonton segera. Dijamin nggak akan membosankan. Saat ini, film Kim Ji Young Born 1982 sudah tersedia di beberapa streaming platform, seperti VIU. Anyway, karena
ulasan dan analisis ini bakalan panjang banget (lagi semangat soalnya wkwk), aku
akan bagi tulisan ini dalam dua bagian. And
here we go, bagian satu dari KIM JI
YOUNG DAN RUMITNYA REALITA PATRIARKI YANG MENGUBUR MIMPI.
Poster Film Kim Ji Young Born 1982 Credit: kumparan.com |
Pertama kali
nonton film yang diadaptasi dari novel dengan judul yang sama ini, aku kayak
ditampar bolak-balik dengan realita yang ditampilkan dalam film ini. Sesuatu
yang selama ini kuanggap baik-baik saja bahkan tidak perlu dipertanyakan. Miris
sekali, bukan? Karena itulah, aku pun mencoba menempatkan posisiku sebagai Kim
Ji Young, atau lebih tepatnya menjadi perempuan.
Perempuan. Sengaja aku buat miring. Kira-kira selama ini yang dibenak semua orang perempuan itu siapa,
sih? Seorang ibu yang mencintai dan membesarkan anaknya dengan sepenuh hati, lalu
seseorang yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk keluarga. Secara kasat mata,
perempuan memang tidak jauh-jauh dari pekerjaan yang kusebut di atas. Tapi,
mungkin selama ini semua orang saking terpananya mereka dengan definisi
tersebut, orang-orang juga jadi lupa, kalau perempuan itu juga manusia yang memiliki mimpi dan bukan hanya sekedar
penghilang penat keluarga.
Itulah yang
dialami oleh Kim Ji Young, seorang perempuan muda yang terlihat biasa saja. Ji
Young lahir di tengah keluarga harmonis dengan seorang kakak perempuan, Eun
Young dan adik laki-laki, Ji Seok. Namun di sinilah semuanya bermula dan
begitulah adanya realitas yang terjadi. Ji Young dan Eun Young diperlakukan
sebagaimana perempuan harus diperlakukan.
Perlakuan yang dimaksud di sini ialah memainkan peran perempuan sejak dini, hasil
didikan sang nenek dan ibu yang juga menjadi korban permainan peran tersebut.
Latar
belakang film dan juga novel ini sebenarnya untuk melawan ideologi yang selama
ini sudah tertanam beratus bahkan beribu tahun di negeri tersebut bernama
patriarki. Para perempuan di Korea Selatan berbondong-bondong meminta
keseteraan yang tidak kunjung diraih. Sebuah gerakan yang membawa angin segar,
tentu saja, apalagi ini zaman sudah berubah. Pembatasan gerak akibat pandangan gender
harusnya sudah terasa kuno. Tapi, untuk membasmi atau seetidaknya mengurangi,
inilah yang jadi tantangan para perempuan di Korea Selatan, bahkan di seluruh
dunia, termasuk Indonesia sendiri.
Para perempuan menyuarakan tuntutan saat Women's March di Korea Selatan Credit: abc.net.au |
Ji Young
yang berdiri sebagai representasi perempuan di Korea pada umumnya, menerima
begitu banyak kejadian yang sampai membuat kondisi psikisnya terganggu. Saat
melihat film ini, mungkin semua orang memahami posisi Ji Young, namun di
sinilah akar permasalahannya. Mengutip kata dosen pengampu mata kuliah Media
dan Kajian Budaya, ketika masyarakat mengganggap biasa saja mengenai ideologi
yang selama ini dipercaya, maka di situlah letak kesalahan yang harus
dibongkar. Tentu saja hal itu tidak mudah, karena ideologi dibentuk bukan
bicara waktu yang singkat, sehingga sudah terlalu susah buat diungkap, akan
tetapi, tentu saja masih ada sekelibat harapan di sana.
Harapan
inilah yang ingin direalisasikan Ji Young. Ji Young dikelilingi oleh orang-orang
yang terlalu fanatik dengan ideologi tersebut. Nenek, mertua, hingga atasannya
di kantor. Namun, Ji Young tidak sendiri. Ia masih memiliki ibu, suami, dan
rekan kerja yang mendukung. Beberapa scene
menampilkan Ji Young yang memiliki semangat membara bekerja di sebuah
perusahaan periklanan. Kerjaannya tidak sembarangan, dia bekerja sepenuh hati
dan bahkan menerima pujian atas kerja kerasnya. Ketika tiba saatnya pengumuman
tim perencanaan baru, Ji Young harus menelan pil pahit, melihat namanya tidak
berada dalam daftar tersebut.
Ji Young
bertanya pada sang atasan yang juga seorang perempuan menikah dan memiliki
anak. Alasan apa yang membuatnya tidak masuk kualifikasi? Toh, kinerja Ji Young
sudah terkenal. Tanpa basa-basi, sang atasan menjawab, “Tim perencanaan kali
ini diminta untuk bekerja jangka panjang, jadi aku masukkan semua pekerja pria
yang berpotensi. Bukannya kau tidak mampu, tapi agak sulit bagi perempuan
menikah untuk mendapatkan posisi ini. Bagaimana nanti kalau kau punya anak?”
Jawaban
seperti ini bagaikan tamparan di siang bolong, namun mungkin bagi sebagian
orang hal ini sudah lazim dikatakan. Tidak peduli sekeras apa kerjamu, kamu
adalah perempuan, perempuan yang akan berhenti berkarya jika hamil dan
melahirkan. Memang benar, perempuan diberi kemampuan lebih untuk mengandung dan
melahirkan bayi. Tapi, apakah itu berarti membuat perempuan otomatis menjadi
pengasuh anak seumur hidup? Begitulah kemudian budaya memandang dan
mengotak-ngotakkan peran gender antara laki-laki dan perempuan. Padahal, di
dunia manapun tidak ada aturan paten bahwa perempuan harus selamanya menjadi
sosok sektor domestik, sedangkan laki-laki berada di sektor publik.
Ji Young
mungkin masih merasakan hal tersebut di era modern seperti ini. Namun,
bagaimana dengan sang Ibu, Mi Sook, yang juga merasakan kejamnya tuntutan peran
gender di tengah masyarakat, bahkan jauh sebelum Ji Young lahir? Mi Sook tidak berkutik. Impiannya terkubur
dalam-dalam, merelakan kemampuan tangannya di sebuah pabrik pakaian. Sebagai
anak perempuan satu-satunya di keluarga, Mi Sook tidak dibenarkan sekolah tinggi-tinggi. Toh, balik lagi, ya nanti
juga bakalan menikah dan punya anak. Seperti lingkaran setan memang. Bahkan
ketika Mi Sook belum mencoba menggapai impiannya, ia harus kembali terperangkap
dalam dunia kelam hanya laki-laki yang boleh bersekolah tinggi. Padahal Mi Sook
kecil sama seperti orang muda lainnya. Ia memiliki impian dan cita-cita yang
mulia, yaitu menjadi seorang guru.
Mi Sook menjelaskan alasan ia tidak berkuliah dan bekerja di usia muda |
Salah satu scene
yang menjengkelkan dan masih sering ditemui di realitas sosial saat ini ialah
ketika Ji Young disalahkan ayahnya karena les di tempat yang jauh hingga malam
hari dan memakai rok pendek. Saat itu, Ji Young naik bus dan di sebelahnya ada
seorang siswa laki-laki yang mencoba melecehkannya. Ji Young meminta
pertolongan kepada seorang perempuan yang juga menumpang bus tersebut dan
mengirim pesan singkat ke ayahnya untuk menjemputnya di halte bus. Saat turun
di perhentian, siswa itu menyusul Ji Young dan berusaha menyakitinya, namun
dihentikan oleh perempuan tersebut. Ji Young yang tidak tahan akhirnya
menangis, hingga akhirnya dijemput oleh ayahnya.
Siapa sangka
ketika seorang laki-laki mencoba melecehkan anak perempuannya, seorang ayah,
bapak, orang tua yang kita hormati dan percaya, malah balik menyalahkan kita,
hanya karena kita perempuan. Kenapa pakai rok pendek? Kenapa pergi les
begitu jauh? Hanya dua pertanyaan ini yang bisa keluar dari mulut ayahnya.
Tidak ada satu kata pun yang menyalahkan siswa tersebut. Padahal, di sini
anaknya sendiri adalah seorang korban pelecehan. Ketika seorang ayah saja tidak
bisa menyelamatkan anaknya, di luar sana, siapa yang akan menolong kita?
Begitulah juga kira-kira potret mirisnya kondisi masyarakat kita saat ini.
Beberapa berita yang sudah-sudah mengabarkan bagaimana seorang perempuan
dilecehkan secara seksual di tempat umum. Namun, pada kolom komentar, masih ada
saja kaum-kaum yang menyalahkan pakaian sang perempuan. Salah roknya lah, terlalu pendek! Ya, gimana tidak mau dilecehkan kalau
pakaiannya terbuka?
Melihat bagaimana komentar-komentar yang dituliskan
itu seolah-olah hanya menempatkan perempuan sebagai objek. Perempuan hanya dinilai dan dilihat sebagai benda berjalan
yang memuaskan kaum adam. Jika sudah begini, pola pikir masyarakat saat ini
harus diubah. Tidak boleh ada Ji Young lainnya yang menjadi korban. Semuanya
bermula dari bagaimana perempuan melihat dan menempatkan diri, secara
perlahan-lahan, dengan keyakinan tinggi, perempuan akan segera mendapatkan
posisi yang setara dengan laki-laki. Segera.
Untuk kali ini, ulasan dan analisis film Kim Ji Young
Born 1982 sampai di sini dulu, ya! Part 2 akan diupload besok. Terima kasih sudah mampir. Live like a flower!
Comments
Post a Comment